KETERBUKAAN INFORMASI BADAN PUBLIK DAN PENERAPAN PASAL 13 UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PEMERINTAH DAERAH

Keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis untuk mewujudkan  penyelenggaraan Negara yang baik. Keterbukaan informasi publik merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelanggaraan Negara dan Badan Publik lainnya.

Tiga isu besar yang mendorong lahirnya kesadaran atas kebutuhan informasi adalah upaya pemberantasan korupsi, penegakan hak asasi manusia, dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). (Dhoho A. Sastro dkk,2010;1).

UU KIP telah disahkan pada tanggal 30 April 2008. Berbeda dengan  undang-undang lain yang  umumnya langsung efektif setelah disahkan, Undang-Undang Keterbukaan Informasi  Publik baru efektif diberlakukan pada 1 Mei 2010. Waktu dua tahun setelah diundangkan  tersebut diberikan untuk Badan-Badan Publik agar mempersiapkan diri menyongsong implementasi UU KIP pada intinya memberikan kewajiban kepada setiap Badan Publik untuk membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi publik, kecuali beberapa informasi tertentu. Mengimplementasikan yang dimaksud adalah mempersiapkan perangkat, sarana dan pra sarana yang mendukung terwujudnya informasi yang mudah diakses oleh masyarakat.

Gagasan utama hak atas informasi adalah bahwa informasi yang dikuasai oleh Badan Publik tidaklah dimiliki oleh mereka, akan tetapi dikuasai atas nama rakyat, dan bahwa rakyat harus memiliki akses terhadap  inoformasi ini, dengan pengecualian secara terbatas untuk melindung kepentingan yang lebih tinggi. (Dessy Eko Prayitno dkk.,2008;2).

Hak  warganegara  untuk  memperoleh  informasi  publik  dijamin  oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu tercantum dalam Pasal 28F yang berbunyi:    

“Setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk  mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,  serta  berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

UU KIP sudah berlaku efektif selama lebih dari empat tahun, namun daftar panjang pekerjaan rumah itu masih berada di depan mata, misalnya: belum semua Badan Publik melaksanakan mandat hukum UU KIP masih banyak masyarakat indonesia yang belum tahu dan belum memanfaatkan UU KIP dalam meminta informasi, permasalahan kapasitas komisioner Komisi Informasi, permasalahan independensi Komisi informasi.( Dessy Eko Prayitno, 2014;3).

Sebagai undang-undang yang tidak hanya sekedar mengatur hak atas  informasi, UU KIP mengandung beberapa pokok pikiran berikut (Henri Subagyo,2009;4):
1.    Setiap Badan Publik wajib menjamin keterbukaan informasi publik;
2.    Setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh publik;
3.    Informasi publik yang dikecualikan bersifat ketat, terbatas, dan tidak mutlak/tidak permanen;
4.   Setiap informasi publik harus dapat diperoleh dengan cepat, tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana;
5.    Informasi publik bersifat proaktif;
6.    Informasi publik harus bersifat utuh, akurat, dan dapat dipercaya;
7.    Penyelesaian sengketa secara cepat, murah, kompeten, dan independen; dan
8.    Ancaman pidana bagi penghambat informasi.

Pasal 13 UU KIP mengamanatkan bahwa untuk mewujudkan pelayanan informasi yang cepat, tepat, dan sederhana, maka setiap badan publik menunjuk Pejabat pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). PPID adalah pejabat yang menduduki posisi jabatan tertentu pada masing-masing badan publik dan bertindak sebagai penanggungjawab fungsi pelayanan informasi pada unit pelayanan informasi masing-masing badan publik.
Hal-hal yang harus diperhatikan badan Publik dalam menunjuk atau menempatkan PPID adalah (Tanya Jawab Seputar UU Nomor 14 tahun,2008:5):
(1)  Penunjukan dan penetapan PPID diserahkan kepada masing-masing Badan Publik.
(2)  Fungsi PPID dapat dilakukan oleh pejabat yang telah ada, fungsi PPID dapat dilekatkan pada tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pejabat yang telah ada.
(3) Penunjukan dan penetapan PPID dilakukan berdasarkan analisa tugas, tanggungjawab, dan kewenangan PPID sebagaimana diatur dalam UU KIP dan Parturan Komisi Informasi. Sehingga berdasarkan beban tugas, tanggungjawab, dan kewenangan tersebut, Badan Publik dapat menetukan kualifikasi pejabat mana yang dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai PPID.
(4) Penunjukan dan penetapan PPID harus dilakukan dengan mempertimbangkan rentang kendali/kewenangan yang dimiliki pejabat tersebut untuk melakukan koordinasi antar bidang/unit atau divisi pada Badan Publik dalam rangka pelaksanaan pelayanan Informasi Publik.
(5)  Pejabat yang ditunjuk dan ditetapkan sebagai PPID harus memiliki kompetensi tidak hanya terbatas pada bidang informasi dan dokumentasi tetapi juga substansi terkait dengan informasi yang dikelola Badan Publik.





Related Posts

Subscribe Our Newsletter