Perjanjian kerja, memuat hak dan kewajiban, yakni timbul kewajiban satu pihak untuk bekerja dan pihak lain mempekerjakan dengan membayar upah. Shamad menyatakan perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana seseorang mengikatkan diri untuk bekerja pada orang lain dengan menerima imbalan berupa upah yang sesuai dengan syarat-syarat yang dijanjikan atau disetujui bersama. Hal ini kemudian menjadi ciri bahwa perjanjian kerja memuat isi yang merupakan kesepakatan antara para pihak, yakni pekerja dan pengusaha, untuk dapat melangsungkan suatu pekerjaan dan pekerja diberikan upah sesuai janji.
Dikenal 2 (dua) macam perjanjian kerja dalam UU No. 13 Tahun 2003, yakni Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu. Sedangkan PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. Dua macam perjanjian kerja tersebut menjadi titik tolak hubungan kerja dibangun antara pekerja dengan pengusaha. Perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap, yaitu pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman.
Pengaturan tentang perubahan terhadap PKWT menjadi PKWTT di dalam UU No. 13 Tahun 2003 telah sedemikian rupa sehingga akibat hukum yang muncul, juga telah diatur secara tegas di dalam Pasal 52 ayat (7). Permasalahan yang dapat dikaji secara hukum adalah bagaimana undang-undang memberikan akomodasi hukum yang sama dan seimbang terhadap perubahan status tersebut, yakni mengenai perubahan status pekerja PKWTT menjadi PKWT. Namun justifikasi yang dapat disampaikan adalah bahwa status pekerja PKWTT menjadi pekerja PKWT adalah sama saja dengan mendegradasi status. Akibat hukum atas perubahan status tersebut juga harus dipahami secara hati-hati dan dimaknai secara mendalam agar perlindungan hak pekerja tetap terakomodasi dengan tepat.
Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut arbeidsoverencom mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601a KUH Perdata memberikan pengertian perjanjian kerja sebagai suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh) mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah yang lain yaitu majikan untuk sewaktu-waktu tertentu melakukan suatu pekerjaan dengan menerima upah. Iman Soepomo berpendapat bahwa pada dasarnya hubungan kerja yaitu hubungan buruh dan majikan terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah dan dimana majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah sehingga perjanjian yang demikian itu disebut perjanjian kerja.
Istilah ‘perjanjian kerja’ menun-jukkan bahwa perjanjian ini dibuat untuk mengenai kerja, yakni dengan adanya perjanjian kerja timbul salah satu pihak untuk bekerja. Jadi berlainan dengan perjanjian perburuhan yang tidak menimbulkan hak atas dan kewajiban untuk melakukan pekerjaan tetapi memuat syarat-syarat tentang perburuhan. Oleh karena perjanjian dibuat untuk suatu hal tertentu, maka di dalam perjanjian kerja itu berkaitan dengan obyek yang diperjanjikan, yaitu tentang pekerjaan. Sedangkan suatu sebab yang halal berkaitan dengan kausa perjanjian kerja, maka pekerjaan yang diperjanjikan tersebut tidak boleh merupakan kausa (atau pekerjaan) yang dilarang oleh undang-undang, serta bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan hak dan kewajiban. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang memiliki akibat-akibat hukum. Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki hukum.
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur secara rinci hal-hal yang berkaitan dengan Pasal 1320 KUH Perdata, yakni dengan mengadopsinya di dalam Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal ini mengatur tentang segalanya untuk membuat perjanjian kerja menjadi sah. Asas konsesualisme berarti bahwa perjanjian lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan suatu formalitas. Demikian pula dengan perjanjian kerja, bahwa perjanjian kerja itu memenuhi asas konsesualisme bilamana pekerja dan pengusaha mencapai kata sepakat tentang hal-hal yang berkaitan dengan hubungan kerja. Sehingga, secara bentuk, perjanjian kerja lisan maupun tertulis bukanlah suatu permasalahan.
Hukum perjanjian juga menganut sistem terbuka. Artinya hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi dan bermacam apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Hal ini berlaku pula untuk perjanjian kerja sebagaimana diatur di dalam UU No. 13 Tahun 2003. Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Makna dari kata “semua” menunjukkan bahwa para pihak dalam perjanjian bebas membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Demikian artinya bahwa pengusaha dan pekerja dalam membuat suatu perjanjian kerja, dibebaskan untuk memuat substansi apapun di dalamnya, dan kemudian berlakulah sebagai undang-undang bagi mereka.
Perubahan PKWTT menjadi PKWT bermula dari pemahaman tentang cara PKWTT diadakan oleh pekerja dan pengusaha. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian, dapat ditemukan bahwa perubahan PKWTT menjadi PKWT dapat dimungkinkan terjadi, berdasarkan kehen-dak masing-masing. Kehendak tersebut bisa saja ada dan tidak ada peraturan perundang-undangan yang tidak melarang hal tersebut.
Kemudian, yang menjadi terpenting adalah alasan atau sebab-sebab berubahnya PKWTT menjadi PKWT. Semenjak awal PKWTT diadakan, antara pekerja dengan pengusaha sudah menyepakati (berdasarkan kehendak) bahwa hubungan kerja tidak dibatasi waktu atau terus menerus, namun ada peristiwa atau situasi kondisi tertentu yang dapat menyebabkan PKWTT dapat berubah menjadi PKWTT. Bahwa perlu diingat PKWTT timbul karena 2 (dua) hal mendasar, yakni: (1) kesepakatan pekerja/buruh mengadakan PKWTT, dan (2) akibat PKWT dilaksanakan tidak sesuai ketentuan (perubahan PKWT menjadi PKWT).
Jadi melihat dari cara timbulnya saja, perubahan PKWTT menjadi PKWT dapat dimungkinkan oleh karena berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan pelaksanaan jenis pekerjaan di dalam suatu perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan PKWTT menjadi PKWT cenderung dibarengi dengan adanya perubahan pekerjaan sebagaimana jenis pekerjaan yang terdapat pada UU No. 13 Tahun 2003. Yang menjadi kunci bahwa PKWTT dapat berubah menjadi PKWT adalah kehendak yang sama antara pekerja dan pengusaha dalam perjanjian.
Akibat Hukum
Perubahan PKWTT menjadi PKWT membawa akibat hukumnya sendiri. Peristiwa hukum ini terdiri dari dua perbuatan hukum yang dilakukan, yakni putusnya hubungan kerja PKWTT dan pembuatan PKWT, yang keduanya disepakati dan dilaksanakan kedua belah pihak dalam perubahan tersebut. Adapun akibat hukum dari perbuatan-perbuatan hukum tersebut adalah:
Pertama, pemutusan hubungan kerja PKWTT: mengakibatkan pengusaha wajib membayar hak dan kewajiban kepada pekerja yang didasarkan karena putusnya hubungan kerja dengan alasan tanpa kesalahan, yang merujuk pada ketentuan perhitungan hak normatif pada Pasal 156 dan Pasal 167 UU No. 13 Tahun 2003. Hal ini merupakan akibat hukum yang berupa lenyapnya suatu keadaan hukum tertentu, yaitu lenyapnya atau berakhirnya hubungan kerja yang didasarkan pada PKWTT.
Kedua, pembuatan dan pelaksanaan PKWT: yang mengacu pada Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 dan Kepmenakertrans No. 100 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan PKWT. Situasi ini dapat disebut sebagai lahirnya suatu hubungan hukum baru, yakni hubungan kerja yang didasarkan pada PKWT.