Porang (Amorphophallus oncophyllus Prain) merupakan salah satu jenis tumbuhan umbi-umbian. Tumbuhan ini berupa semak (herba) yang dapat dijumpai tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis (Dewanto dan Purnomo, 2009). Belum banyak dibudidayakan dan ditemukan tumbuh liar di dalam hutan, di bawah rumpun bambu, di tepi sungai dan di lereng gunung (pada tempat yang lembab). Porang dapat tumbuh di bawah naungan, sehingga cocok dikembangkansebagai tanaman sela di antara jenis tanaman kayu atau pepohonan yang dikelola dengan sistem agroforestry. Budidaya porang merupakan upaya diversifikasi bahan pangan serta penyediaan bahan baku industri yang dapat meningkatkan nilai komoditi ekspor di Indonesia.
Komposisi umbi porang bersifat rendah kalori, sehingga dapat berguna sebagai makanan diet yang menyehatkan. Umbi porang yang saat ini diekspor masih berasal dari usaha masyarakat tani dengan mengumpulkan umbi yang tumbuh liar di perkebunan maupun di hutan. Saat ini umbi porang dibuat dalam bentuk chip yang berupa bahan baku mentah sehingga memiliki nilai jual rendah. Hal ini menunjukkan bahwa umbi porang belum dapat diolah menjadi produk yang bervariasi serta teknologi pengolahannya pun belum berkembang. Tulisan ini membahas tentang prospek budidaya umbi porang serta pengolahannya.
Tumbuhan porang termasuk ke dalam familia Araceae (talastalasan) dan tergolong genus Amorphophallus. Di Indonesia, ditemukan beberapa spesies yaitu A. C ampanulatus, A. oncophyllus, A. variabilis, A. spectabilis, A. decussilvae, A. muellleri dan beberapa jenis lainnya (Koswara, 2013).
Taksonomi porang menurut Tjitrosoepomo, (2002) dalam Dawam, (2010) :
Regnum : Plantae
Sub Regnum : Tracheobionta
Super Divisio : Spermatophyta
Divisio : Magnoliophyta
Class : Liliopsida
Sub Class : Arecidae
Ordo : Arales
Familia : Araceae
Genus : Amorphophallus
Species : Amorphophallus oncophyllus Prain
Tumbuhan porang (Amorphophallus oncophyllus Prain) sinonim dengan Amorphophallus muelleri Blume dan Amorphophallus blumei Scott (Sumarwoto, 2005). Porang dikenal dengan beberapa nama lokal, tergantung pada daerah asalnya seperti acung atau acoan oray (Sunda), kajrong (Nganjuk) (Dewanto dan Purnomo, 2009). Amorphophallus spp. awalnya ditemukan di daerah tropis dari Afrika sampai ke pulau-pulau Pasifik, kemudian menyebar ke daerah beriklim sedang seperti Cina dan Jepang. Jenis A. o nchophyllus awalnya ditemukan di Kepulauan Andaman (India) dan menyebar ke arah timur melalui Myanmar lalu ke Thailand dan ke Indonesia (Jansen, et al., 1996 dalam Sumarwoto, 2005).
Tumbuhan porang mempunyai batang tegak, lunak, halus berwarna hijau atau hitam dengan bercak putih. Batang tunggal (sering disebut batang semu) memecah menjadi tiga batang sekunder dan akan memecah menjadi tangkai daun. Perkembangan morfologinya berupa daun tunggal menjari dengan ditopang oleh satu tangkai daun yang bulat. Pada tangkai daun akan keluar beberapa umbi batang sesuai musim tumbuh (Sumarwoto, 2005). Helaian daun memanjang dengan ukuran antara 60 - 200 cm dengan tulang-tulang daun yang kecil terlihat jelas pada permukaan bawah daun. Panjang tangkai daun antara 40 - 180 cm dengan daun-daun yang lebih tua berada pada pucuk di antara tiga segmen tangkai daun (Ganjari, 2014).
Tumbuhan ini mencapai tinggi ±1,5 meter, tergantung umur dan kesuburan tanah. Daur tumbuhnya antara 4 - 6 tahun, dan menghasilkan bunga besar di bagian terminal (terdiri atas batang pendek, spatha, dan gagang) yang mengeluarkan bau busuk (Purwanto, 2014). Tangkai bunga polos, bentuk jorong atau oval memanjang, berwarna merah muda pucat, kekuningan, atau cokelat terang. Panjang biji 8 - 22 cm, lebar 2,5 - 8 cm dan diameter 1 - 3 cm (Ganjari, 2014). Umbi porang terdiri atas dua macam, yaitu umbi batang yang berada di dalam tanah dan umbi katak ( bulbil ) yang terdapat pada setiap pangkal cabang atau tangkai daun. Umbi yang banyak dimanfaatkan adalah umbi batang yang berbentuk bulat dan besar, biasanya berwarna kuning kusam atau kuning kecokelatan. Bentuk umbi khas, yaitu bulat simetris dan di bagian tengah membentuk cekungan. Jika umbi dibelah, bagian dalam umbi berwarna kuning cerah dengan serat yang halus, karena itu sering disebut juga iles kuning Panen umbi dengan cara digali pada saat daunnya layu dan mati, bobot umbi 3 - 9 kg tergantung kondisi iklim yang sesuai untuk pertumbuhannya (Purwanto, 2014). Pada setiap pertemuan batang dan pangkal daun akan ditemukan bintil atau umbi katak ( bulbil ) berwarna cokelat kehitam-hitaman yang berfungsi sebagai alat perkembangbiakan secara generatif. Sumarwoto (2005) menyatakan bahwa bulbil ini merupakan ciri khusus yang dimiliki porang dan tidak ditemukan pada jenis tanaman iles lainnya.
Kondisi ekologis jenis porang tumbuh secara sporadis di hutan maupun di pekarangan sebagai tumbuhan liar ( wild t y p e ), belum dibudidayakan secara besar-besaran serta belum banyak dikenal di kalangan masyarakat tani. Dewanto dan Purnomo (2009) menyatakan bahwa porang dapat tumbuh pada ketinggian 0 - 700 m dpl, namun tumbuh baik pada ketinggian 100 - 600 m dpl. Pertumbuhan porang membutuhkan intensitas cahaya maksimum 40%, dapat tumbuh pada semua jenis tanah pada pH 6 - 7 (netral), dan tumbuh baik pada tanah yang gembur serta tidak tergenang air. Tumbuhan porang sifatnya toleran naungan (membutuhkan naungan), sehingga sangat cocok dikembangkan sebagai tanaman sela di antara jenis kayu-kayuan, yang dikelola dengan sistem agroforestry. Intensitas naungan yang dibutuhkan porang untuk mendukung pertumbuhannya adalah minimal 40%. Jansen , e t al . (1996) dalam Purwanto (2014) bahwa untuk mencapai produksi umbi porang yang tinggi diperlukan intensitas naungan antara 50 - 60%. Tumbuhan porang dapat dibudidayakan sebagai tanaman sela di antara pohon jati, mahoni, sonokeling, rumpun bambu, atau di antara semak belukar. Berdasarkan hasil analisis vegetasi oleh Wahyuningtyas, et al . (2013), porang banyak ditemukan di bawah naungan tegakan bambu ( Gigantochloa atter ), jati ( Tectona grandis ), dan mahoni ( S wie t e nia m a h a g o ni ). Porang tumbuh optimal pada kondisi lingkungan, yaitu; suhu 25 - 35 °C dan curah hujan antara 300 - 500 mm/bulan. Produksi umbi yang optimal dapat diperoleh setelah tiga periode daur, yaitu sekitar tiga tahun (Sumarwoto, 2012).
Tumbuhan porang memiliki beberapa siklus (periode) pertumbuhan dimana satu periode siklus berlangsung selama 12 - 13 bulan. Siklus pertama dimulai pada musim penghujan yang ditandai dengan munculnya tunas berasal dari umbi, kemudian tunas akan tumbuh selama 6 - 7 bulan. Selanjutnya pada musim kemarau yang berlangsung selama 5 - 6 bulan, tunas akan mengering dan rebah. Siklus berikutnya dimulai pada awal musim hujan dengan tangkai daun dan diameter tajuk daun yang lebih panjang/lebar dibandingkan pada siklus sebelumnya. Tumbuhan porang yang sudah mengalami beberapa periode siklus memiliki umbi yang lebih berat. Umbi batang umumnya dipanen pada siklus ketiga. Pada siklus pertama dan kedua merupakan fase pertumbuhan vegetatif dan setelah siklus ketiga, mengalami fase pertumbuhan generatif (Saputra, et al ., 2010). Umbi batang yang tumbuh sehat dan subur serta berumur ± 1 tahun dapat dijadikan bibit. Satu umbi hanya menghasilkan satu bibit untuk ditanam (Pusat Penelitian dan Pengembangan Porang Indonesia, 2013). Sedangkan bulbil dapat dikumpulkan pada masa panen sehingga bila memasuki musim hujan, dapat langsung ditanam pada lahan yang telah disiapkan. Tumbuhan porang yang cukup tua dapat menghasilkan bulbil ±40 buah/pohon (Dewanto dan Purnomo, 2009).
Tumbuhan porang dapat berkembang biak secara generatif melalui biji. Porang akan berbunga pada setiap periode 3 - 4 tahun, selanjutnya menghasilkan biji/buah. Dalam satu tongkol buah dapat menghasilkan biji ±250 butir yang dapat dijadikan benih/bibit dengan cara disemaikan terlebih dahulu (Dewanto dan Purnomo, 2009). Perbanyakan secara generatif dilakukan dengan cara mengecambahkan biji, satu kecambah akan menghasilkan satu bibit baru. Sedangkan dengan cara poliembrioni , dalam satu biji dilakukan proses pembelahan biji untuk memisahkan embrio-embrio dalam satu biji. Embrio yang telah dipisahkan tersebut kemudian disemai sampai tumbuh tunas sehingga dihasilkan lebih dari satu bibit baru dari satu biji. Perbanyakan dengan metode ini biasanya dilaksanakan saat bunga mulai jatuh dan biji dapat dikumpulkan. Biji-biji tersebut dibelah dan embrio-embrionya dipisahkan. Embrio membutuhkan waktu 6 - 7 minggu sejak disemaikan untuk berkecambah. Embrio yang telah berkecambah membutuhkan waktu ±8 minggu untuk siap ditanam di lapangan (Pusat Penelitian dan Pengembangan Porang Indonesia, 2013). Biji porang mengalami dormansi sepanjang musim kemarau, oleh karena itu, untuk persiapan perbanyakan diusahakan bertepatan dengan periode musim hujan. Biji yang akan dijadikan bibit, perlu diperlakukan dengan menggunakan zat pemecah dormansi seperti CPPU (N - (2 - chloro - 4 - pyridinyl) - N - phenylurea ). Zat ini merupakan sit o kinin sin t e sis yang efektif memacu pertumbuhan sehingga diharapkan tanaman mampu tumbuh dengan baik serta berproduksi secara maksimal (Lebi, 2013). Porang juga dapat diperbanyak secara kultur jaringan, bagian vegetatif ditumbuhkan dalam kondisi aseptik, sehingga dapat memperbanyak diri dan tumbuh menjadi tanaman yang lengkap (Pusat Penelitian dan Pengembangan Porang Indonesia, 2013). Porang dapat dipanen setelah tanamannya rebah dan daunnya telah kering. Pada saat itu, kandungan glukomanan lebih tinggi dibandingkan pada saat sebelum rebah. Kandungan glukomanan pada awal pertumbuhan lebih rendah karena digunakan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan daun. Setelah daun mengalami pertumbuhan yang maksimal, glukomanan tidak digunakan untuk proses metabolisme, sehingga terakumulasi pada umbi hingga mencapai fase dormansi (Chairiyah, et al ., 2014). Budidaya porang perlu pengelolaan yang intensif seperti pengolahan lahan untuk pembibitan dan penanaman, pemeliharaan tanaman serta cara panen umbi. Jika benih/bibit tanaman berasal dari biji, perlu disiapkan persemaian untuk pembibitan, dan jika sudah berkecambah dapat dipindahkan di persemaian (Sumarwoto, 2008). Kedalaman tanah untuk penanaman perlu diperhatikan agar diperoleh pertumbuhan yang baik. Apabila bibit berupa bulbil besar maka kedalaman tanam ±5 cm. Sedangkan bibit yang menggunakan umbi batang dengan bobot kurang dari 200 g, maka kedalaman tanam adalah ±10 cm dan jika bobot umbi lebih berat maka kedalaman tanamnya ±15 cm. Budidaya porang, sebaiknya ada pemisahan penggunaan lahan atau dilakukan tanam bergilir pada lahan yang tersedia yaitu lahan untuk pembibitan terpisah dengan lahan untuk produksi sehingga dapat dilakukan pemanenan secara rutin (Sumarwoto, 2012).
Dewanto dan Purnomo (2009) bahwa proses pengolahan umbi porang diawali dengan mencuci umbi hingga bersih lalu diiris tipis dengan ketebalan 5 - 7 mm. Irisan umbi kemudian dihamparkan di atas nampan dan dikeringkan sampai kadar air mencapai ±12 %. Apabila pengeringan di bawah sinar matahari, maka dibutuhkan waktu 3 - 4 hari, jika menggunakan oven maka dibutuhkan waktu hanya sekitar 2,5 jam dengan suhu ±80°C. Hasil proses pengeringan ini disebut ‘ chip ’ atau keripik porang. Chip akan digiling (ditumbuk) menjadi tepung selanjutnya dipisahkan antara serbuk manaan dan tepungnya. Cara pemisahannya dapat menggunakan ayakan 35 mesh
atau blower . Serbuk manaan yang dihasilkan segera dikemas atau diolah karena bila terlalu lama akan berkurang daya lekatnya.
Tumbuhan porang memiliki beberapa siklus (periode) pertumbuhan dimana satu periode siklus berlangsung selama 12 - 13 bulan. Siklus pertama dimulai pada musim penghujan yang ditandai dengan munculnya tunas berasal dari umbi, kemudian tunas akan tumbuh selama 6 - 7 bulan. Selanjutnya pada musim kemarau yang berlangsung selama 5 - 6 bulan, tunas akan mengering dan rebah. Siklus berikutnya dimulai pada awal musim hujan dengan tangkai daun dan diameter tajuk daun yang lebih panjang/lebar dibandingkan pada siklus sebelumnya. Tumbuhan porang yang sudah mengalami beberapa periode siklus memiliki umbi yang lebih berat. Umbi batang umumnya dipanen pada siklus ketiga. Pada siklus pertama dan kedua merupakan fase pertumbuhan vegetatif dan setelah siklus ketiga, mengalami fase pertumbuhan generatif (Saputra, et al ., 2010). Umbi batang yang tumbuh sehat dan subur serta berumur ± 1 tahun dapat dijadikan bibit. Satu umbi hanya menghasilkan satu bibit untuk ditanam (Pusat Penelitian dan Pengembangan Porang Indonesia, 2013). Sedangkan bulbil dapat dikumpulkan pada masa panen sehingga bila memasuki musim hujan, dapat langsung ditanam pada lahan yang telah disiapkan. Tumbuhan porang yang cukup tua dapat menghasilkan bulbil ±40 buah/pohon (Dewanto dan Purnomo, 2009).
Tumbuhan porang dapat berkembang biak secara generatif melalui biji. Porang akan berbunga pada setiap periode 3 - 4 tahun, selanjutnya menghasilkan biji/buah. Dalam satu tongkol buah dapat menghasilkan biji ±250 butir yang dapat dijadikan benih/bibit dengan cara disemaikan terlebih dahulu (Dewanto dan Purnomo, 2009). Perbanyakan secara generatif dilakukan dengan cara mengecambahkan biji, satu kecambah akan menghasilkan satu bibit baru. Sedangkan dengan cara poliembrioni , dalam satu biji dilakukan proses pembelahan biji untuk memisahkan embrio-embrio dalam satu biji. Embrio yang telah dipisahkan tersebut kemudian disemai sampai tumbuh tunas sehingga dihasilkan lebih dari satu bibit baru dari satu biji. Perbanyakan dengan metode ini biasanya dilaksanakan saat bunga mulai jatuh dan biji dapat dikumpulkan. Biji-biji tersebut dibelah dan embrio-embrionya dipisahkan. Embrio membutuhkan waktu 6 - 7 minggu sejak disemaikan untuk berkecambah. Embrio yang telah berkecambah membutuhkan waktu ±8 minggu untuk siap ditanam di lapangan (Pusat Penelitian dan Pengembangan Porang Indonesia, 2013). Biji porang mengalami dormansi sepanjang musim kemarau, oleh karena itu, untuk persiapan perbanyakan diusahakan bertepatan dengan periode musim hujan. Biji yang akan dijadikan bibit, perlu diperlakukan dengan menggunakan zat pemecah dormansi seperti CPPU (N - (2 - chloro - 4 - pyridinyl) - N - phenylurea ). Zat ini merupakan sit o kinin sin t e sis yang efektif memacu pertumbuhan sehingga diharapkan tanaman mampu tumbuh dengan baik serta berproduksi secara maksimal (Lebi, 2013). Porang juga dapat diperbanyak secara kultur jaringan, bagian vegetatif ditumbuhkan dalam kondisi aseptik, sehingga dapat memperbanyak diri dan tumbuh menjadi tanaman yang lengkap (Pusat Penelitian dan Pengembangan Porang Indonesia, 2013). Porang dapat dipanen setelah tanamannya rebah dan daunnya telah kering. Pada saat itu, kandungan glukomanan lebih tinggi dibandingkan pada saat sebelum rebah. Kandungan glukomanan pada awal pertumbuhan lebih rendah karena digunakan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan daun. Setelah daun mengalami pertumbuhan yang maksimal, glukomanan tidak digunakan untuk proses metabolisme, sehingga terakumulasi pada umbi hingga mencapai fase dormansi (Chairiyah, et al ., 2014). Budidaya porang perlu pengelolaan yang intensif seperti pengolahan lahan untuk pembibitan dan penanaman, pemeliharaan tanaman serta cara panen umbi. Jika benih/bibit tanaman berasal dari biji, perlu disiapkan persemaian untuk pembibitan, dan jika sudah berkecambah dapat dipindahkan di persemaian (Sumarwoto, 2008). Kedalaman tanah untuk penanaman perlu diperhatikan agar diperoleh pertumbuhan yang baik. Apabila bibit berupa bulbil besar maka kedalaman tanam ±5 cm. Sedangkan bibit yang menggunakan umbi batang dengan bobot kurang dari 200 g, maka kedalaman tanam adalah ±10 cm dan jika bobot umbi lebih berat maka kedalaman tanamnya ±15 cm. Budidaya porang, sebaiknya ada pemisahan penggunaan lahan atau dilakukan tanam bergilir pada lahan yang tersedia yaitu lahan untuk pembibitan terpisah dengan lahan untuk produksi sehingga dapat dilakukan pemanenan secara rutin (Sumarwoto, 2012).
Dewanto dan Purnomo (2009) bahwa proses pengolahan umbi porang diawali dengan mencuci umbi hingga bersih lalu diiris tipis dengan ketebalan 5 - 7 mm. Irisan umbi kemudian dihamparkan di atas nampan dan dikeringkan sampai kadar air mencapai ±12 %. Apabila pengeringan di bawah sinar matahari, maka dibutuhkan waktu 3 - 4 hari, jika menggunakan oven maka dibutuhkan waktu hanya sekitar 2,5 jam dengan suhu ±80°C. Hasil proses pengeringan ini disebut ‘ chip ’ atau keripik porang. Chip akan digiling (ditumbuk) menjadi tepung selanjutnya dipisahkan antara serbuk manaan dan tepungnya. Cara pemisahannya dapat menggunakan ayakan 35 mesh
atau blower . Serbuk manaan yang dihasilkan segera dikemas atau diolah karena bila terlalu lama akan berkurang daya lekatnya.
Porang (Amorphophallus onchophyllus Prain) merupakan jenis umbi-umbian yang memiliki potensi dan prospek untuk dikembangkan di Indonesia. Tumbuhan ini populasinya banyak dan mudah diperbanyak, umbinya mengandung karbohidrat sehingga dapat digunakan sebagai bahan pangan alternatif. Umbi porang mengandung karbohidrat berbentuk polisakarida . Turunan karbohidrat ini dinamakan glukomanan yang memiliki sifat larut dalam air dan dapat difermentasi (Thomas, 1997 dalam Purwanto, 2014). Selanjutnya oleh Koswara (2013) bahwa glukomanan mempunyai beberapa sifat istimewa, di antaranya dapat membentuk larutan yang kental dalam air, dapat mengembang, dapat membentuk gel, dapat membentuk lapisan kedap air (dengan penambahan NaOH atau gliserin ), serta dapat mencair seperti agar -agar sehingga dapat digunakan untuk media pertumbuhan mikroba. Glukomanan memiliki manfaat dalam bidang industri yaitu dapat digunakan sebagai bahan perekat kertas, bahan pengisi (filler) untuk pembuatan tablet (obat), pengikat mineral yang tersuspensi secara koloidal pada penambangan, serta sebagai penjernih air minum yang berasal dari sungai dengan cara mengendapkan lumpur yang tersuspensi di dalam air (Lahiya, 1993 dalam Sumarwoto, 2012). Struktur kimia glukomanan mirip dengan selulosa sehingga dapat digunakan dalam pembuatan seluloid, bahan peledak, isolasi listrik, bahan negatif film, bahan toilet, kosmetik dan bahan pemadat dalam media kultur jaringan. Pradipta dan Mawarani (2012) bahwa umbi porang yang mengandung ± 55 % glukomanan dapat dimanfaatkan untuk pembuatan plastik biodegradable . Umbi porang yang mengandung glukomanan 15 % - 64 % (basis kering), dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri pangan dan kesehatan (Faridah, et al ., 2012). Umbi porang mengandung serat tinggi dan tidak mengandung lemak sehingga dapat digunakan untuk menurunkan kadar kolesterol dan mencegah kegemukan, serta cocok dikonsumsi untuk penderita darah tinggi dan kencing manis. Jenis umbi ini mengandung mineral konsentrasi tinggi seperti kalium , magnesium , fosfor , unsur kelumi , selenium , seng dan tembaga sehingga bermanfaat bagi metabolisme . Umbi yang sudah tua (matang) dapat dijadikan olahan makanan tradisional, seperti b r e m p a d a t yang merupakan hasil fermentasi oleh khamir yang dipadatkan. Brem padat memiliki rasa manis atau manis keasaman, tekstur padat, kering, tidak lembek, serta mudah hancur (Purwanto, 2014).