Kasus perkawinan siri yang berdampak pada anak luar kawin, salah satunya adalah kasus Machica Mochtar dan anaknya, Muhammad Iqbal Ramadhan. Disini kedua orang tersebut yang bertindak sebagai Pemohon I dan Pemohon II mencari keadilan terkait pengakuan seorang anak agar nantinya dia mendapatkan apa yang menjadi haknya. Hingga lahirlah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 yang telah menetapkan perubahan pada Pasal 43 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Banyak yang sudah menganalisis putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Namun dengan latar belakang itu, penulis lebih tertarik untuk menganalisis bagaimana pembuktian anak di luar kawin dengan bapak biologisnya menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010 dan apa saja akibat hukum baik secara perdata maupun administrasi.
Peraturan tentang alat – alat pembuktian, termasuk dalam bagian yang pertama, yang dapat juga dimasukkan dalam kitab undang – undang tentang hukum perdata materiil. Pendapat ini rupanya dianut oleh pembuat undang – undang pada waktu B.W. dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia peraturan perihal pembuktian ini telah dimasukkan dalam H.I.R., yang memuat hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri. (Subekti 2011:176)
Sebagai pedoman, diberikan oleh pasal 1865 BW bahwa barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas nama ia mendasarkan sesuatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa – peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa – peristiwa itu! (Kansil 2006:252).
Pasal 164 HIR menjelaskan yang disebut alat-alat bukti, yaitu bukti dengan surat, bukti dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan, sumpah, di dalam segala hal dengan memperhatikan aturan-aturan yang ditetapkan dalam pasal-pasal yang berikut.
Pasal 181 RBg / 154 HIR menjelaskan terkait saksi ahli, bahwa jika menurut pendapat ketua pengadilan negeri, perkara itu dapat dijelaskan oleh pemeriksaan atau penetapan ahli – ahli, maka karena jabatannya, atau atas permintaan pihak – pihak, ia dapat mengangkat ahli-ahli tersebut. Dalam hal yang demikian, maka ditentukan hari persidangan pada waktu mana hal itu memberi laporannya baik dengan surat, maupun dengan lisan dan menguatkan keterangan itu dengan sumpah.
Pemeriksaan DNA merupakan proses pemeriksaan yang dilakukan secara ilmu kedokteran yang memperlihatkan sifat genetika sebagai proses penurunan sifat – sifat dari orang tua kepada anaknya yang dilakukan melalui pemeriksaan golongan darah. Hal ini dapat dijadikan bukti sebagai alat bukti yang membantu memperkuat bukti – bukti lainnya sehingga memberikan keyakinan terhadap kebenaran. (Alimuddin 2014:99).
Akibat hukum yang ditimbulkan dari perubahan pasal 43 ayat (1) Undang – Undang no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut secara mutatis mutandis telah menimbulkan banyak perubahan. (Alimuddin 2013:88).
Pembuktian merupakan langkah menentukan kebenaran. Dalam Pasal 164 HIR menyebutkan 5 alat bukti yang dapat digunakan dalam peradilan, diantaranya bukti dengan surat, bukti dengan saksi, persangkaan – persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Dewasa ini selain alat bukti tersebut, juga terdapat alat bukti lain. Diantaranya adalah keterangan para ahli. Pasal 153 HIR, hakim diberi kesempatan apabila diperlukan untuk memperoleh pertolongan dari sebuah panitia untuk memeriksa keadaan sesuatu tempat, sedangkan dalam pasal ini apabila dipandang berfaedah, kepada hakim diberi kemungkinan untuk minta pertolongan atau pendapat seorang ahli. Pada hakekatnya kedua hal tersebut adalah merupakan alat atau sarana bagi hakim untuk mencari kebenaran yang hakiki agar dapat menjatuhkan keputusan yang adil. Keterangan para ahli di dapat untuk menjelaskan alat bukti yang sudah mulai berkembang. Saat ini banyak sekali teknologi yang terlahir dari pengetahuan para ilmuan yang sudah digunakan dalam peradilan, diantara lain adalah teknologi tes kebohongan, perekam suara (audio record) , perekam gambar (visual record), pelacak sidi jari, dan tes DNA.
Pembuktian diperlukan apabila si anak tidak mendapatkan pengakuan dari ayah biologisnya. Menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-8/2010, yang menjelaskan bahwa Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai bapaknya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga bapaknya.
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimaksud adalah teknologi yang terlahir dari pengetahuan para ilmuan yang dapat digunakan sebagai alat bukti petunjuk dalam peradilan. Dan dalam penjelasannya dapat disampaikan oleh para ahli. Teknologi DNA merupakan teknologi yang dilakukan secara ilmu kedokteran yang memperlihatkan sifat genetika sebagai proses penurunan sifat – sifat dari orang tua kepada anaknya. Teknologi ini digunakan karena setiap orang memiliki DNA yang berbeda – beda. DNA dapat diperoleh dalam darah, rambut, sel – sel mukosa di bagian dalam pipi (dalam mulut), dan jaringan – jaringan lainnya.
Setelah pengambilan sel – sel dari jaringan tubuh, DNA kemudian dikeluarkan dari dalam sel melalui proses ekstraksi DNA. DNA yang diperoleh dari hasil ekstraksi berjumlah relatif sangat sedikit sehingga masih sulit untuk dianalisa. Oleh sebab itu DNA perlu diperbanyak. Teknik perbanyakan DNA disebut dengan amplifikasi DNA. Proses memperbanyak ini dilakukan melalui suatu rangkaian reaksi yang disebut dengan Polymerase Chain Reaction ( PCR ). Rangkaian reaksi inilah yang membuat 1 (satu) DNA menjadi berjuta – juta DNA dalam waktu yang singkat yang kemudian akan mudah untuk dianalisis. Setelah melalui proses terakhir dalam analisis DNA, yaitu proses sequencing, maka akan dapat diketahui profil dari DNA seseorang.
Profil inilah yang kemudian dibandingkan dengan kedua orang tua sehingga dapat diketahui dengan pasti asal DNA. Setelah dapat dibuktikan bahwa anak tersebut adalah anak dari bapak biologisnya, maka kedudukannya dimata hukum berubah. Jika seorang anak luar kawin hanya memperoleh pengakuan saja maka ia masih dianggap anak luar kawin yang diakui. Statusnya dalam hukum perdata adalah dia mendapatkan apa yang menjadi haknya sebagai anak luar kawin yang diakui.
Seperti halnya waris, anak yang lahir di luar perkawinan kemudian telah mendapat pengakuan dari bapak biologisnya maka anak tersebut berhak mewaris dengan golongan sebagai berikut:
1. Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris golongan I, bagiannya: 1/3 dari bagiannya seandainya dia anak sah;
2. Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris golongan II dan III , bagiannya ½ dari seluruh warisan;
3. Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris golongan IV, bagiannya ¾ dari seluruh warisan.
Jika seorang anak luar kawin telah mendapatkan pengakuan juga pengesahan berdasarkan peraturan perundang – undangan maka dia akan memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding dengan mereka yang hanya mendapat pengakuan saja. Dalam hal perdata kedudukan anak luar kawin yang telah mendapatkan pengakuan juga pengesahan, maka hak – haknya akan setara dengan anak sah lainnya. Baik perihal pembiayaan hidup, sampai pada urusan waris.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tidak menyebutkan terkait akibat hukum secara administratif, atau akta kelahiran anak luar kawin. Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi ini berkaitan dengan status hukum dan pembuktian asal usul anak luar kawin. Hubungannya dengan akta kelahiran adalah karena pembuktian asal – usul anak hanya dapat dilakukan dengan akta kelahiran otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Mengenai konsekuensi hukum dengan dikeluarkannya suatu akta kelahiran terhadap anak luar kawin ialah di dalam akta kelahiran anak tersebut hanya tercantum nama ibunya. Karena pada saat pembuatan akta kelahiran, status anak masih sebagai anak luar kawin. Akta kelahiran dapat dilakukan perubahan apabila dalam perjalanannya, bapak biologis dari anak tersebut melakukan pengesahan anak. Pengesahan anak dapat dilakukan setelah pengakuan anak, atau langsung tanpa melalui pengakuan anak.