Kemunculan pertanian organik di Indonesia tidak terlepas dari beberapa kelemahan Revolusi Hijau yang diterapkan sejak awal tahun 1970an. Menurut Syekhfani (2005), penerapan Revolusi Hijau di Indonesia pada awalnya memberi hasil yang menggembirakan. Setelah dilakukan berbagai program intensifikasi lahan dengan penggunaan bibit unggul, pestisida, pemupukan dan irigasi, produktivitas meningkat pesat sehingga Indonesia dinyatakan mampu swasembada beras di tahun 1984. Namun setelah itu, walaupun telah dilakukan berbagai upaya, sangat sulit untuk meningkatkan produktivitas pertanian sehingga kini Indonesia harus mengimpor beragam produk pertanian termasuk beras.
Penurunan produktivitas lahan pada masa Revolusi Hijau diduga akibat dari pemberlakuan budidaya tanaman yang tidak rasional karena penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan telah merusak keseimbangan unsur hara tanah dan keaneragaman hayati akibat siklus penanaman yang berlangsung terus-menerus. Kenyataannya, penggunaan pupuk Natrium (N) dan Phospor (P) yang berlebihan (overdosis) memang ditemukan di persawahan Indonesia (Fox 1991; Buresh, Witt dan Pasuquin 2007).
Bukan hanya penurunan produktivitas pertanian, Revolusi Hijau juga telah menimbulkan masalah lingkungan dan sosial. Penggunaan pestisida kimia menyebabkan polusi air dan udara, residu bahan kimia ini di dalam produk pertanian juga menjadi masalah bagi kesehatan manusia, sementara ketergantungan pada input pertanian kimia dari luar (industri pupuk dan pestisida) juga berakibat menurunnya kemandirian petani (Shiva 1991).
Di Indonesia penerapan metode bertanam secara organis mulai dikenal pada pertengahan tahun 1980an yang sebagian besar dipelopori oleh perseorangan dan lembaga non-pemerintah (Sulaeman 2006). Baru pada tahun 2001, guna menunjang pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, terutama di sektor pertanian dan pangan, pemerintah menunjukkan dukungannya pada pengembangan pertanian organik dengan mencanangkan program “Go Organic 2010”. Tujuan utama program ini bukan hanya mencapai ketahanan pangan domestik tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara produsen organik utama di dunia. Beberapa pihak menyatakan bahwa program tersebut gagal (ADB 2006), namun hal itu tidak berarti masa depan pertanian organik di Indonesia pupus, sekalipun perkembangannya saat ini tidak menggembirakan.
Organic Farming sendiri merupakan cara bertani yang tidak menggunakan bahan kimia sebagai pupuk dan pestisida. Pupuk yang digunakan biasanya merupakan kombinasi dari kotoran hewan (manure), kompos dari tanaman maupun abu vulkanik. Pestisida yang digunakan juga berasal dari berbagai tanaman yang diketahui tidak disukai oleh serangga pengganggu tanaman. Dengan cara ini, apa yang berasal dari tanah dikembalikan lagi ke tanah sehingga keberlanjutan (sustainability) lingkungan hidup terjaga dan kualitas tanaman (dalam pengertian kandungan nutrisi) yang dihasilkan lebih baik. Hal ini berlawanan dengan apa yang dilakukan manusia sejak revolusi hijau, dimana pertanian bersifat massal (lahan ratusan Ha), menggunakan peralatan berat dalam berbagai tahapan pengelolaan pertanian, menggunakan pupuk dan pestisida kimia yang mudah ditebarkan dan memberi hasil besar juga, sehingga harga murah dan terjangkau oleh masyarakat. Dengan tehnik ini dibutuhkan total lahan dan jumlah pekerja relatif kecil untuk memberi makan penduduk dunia.
Kembalinya sistem pertanian organik sepertinya dapat memberi solusi terhadap masalah penurunan produktivitas lahan pertanian di Indonesia. Menurut berbagai praktisi di bidang organic farming, dalam jangka panjang produktivitas lahan pertanian organik lebih tinggi atau setidaknya sama dengan produktivitas lahan pertanian konvensional. Namun, barriers to entry untuk memasuki usaha ini cukup besar, antara lain dalam hal biaya konversi lahan yang memakan waktu sekitar 2 tahun, biaya sertifikasi yang cukup mahal serta sistem multikultur dan pencegahan hama yang membuat komponen labor cost menjadi tinggi dibandingkan dengan sistem konvensional. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah sistem organic farming ini mampu bertahan dan secara ekonomis menguntungkan dan dapat bersaing dengan sistem konvensional yang telah berpuluh tahun menjadi tumpuan pemberi makan penduduk dunia.
Beberapa penelitian tentang kinerja pertanian organik dibandingkan pertanian konvensional (dalam hal produktivitas, biaya produksi dan hasil finansial) telah dilakukan di beberapa wilayah, termasuk di Indonesia. Hasil studi di Afrika misalnya mengungkapkan bahwa sistem pertanian organik ternyata mampu meningkatkan produktivitas dan ketahanan pangan, mengurangi ketergantungan terhadap input pertanian dari luar kawasan (pihak eksternal), meningkatkan penghasilan petani dan mendorong kelestarian lingkungan (UNCTAD 2009). Ini memberikan harapan bahwa pertanian organik menawarkan jawaban atas masalah-masalah yang berkaitan dengan ancaman terhadap ketahanan pangan, kelayakan ekonomis sebuah usaha pertanian, kerusakan lingkungan dan masalah sosial lainnya.
Hasil yang berbeda dikemukakan oleh Argiles dan Brown (2010) yang melakukan penelitian di Catalan Farms, Spanyol. Mereka membandingkan jumlah produksi (output), biaya dan keuntungan (profit) yang didapat dari pertanian organik dan sistem pertanian konvensional. Hasilnya adalah penerapan pertanian organik tidak secara signifikan menyebabkan terjadinya perubahan output, biaya dan profit. Ketika membandingkan biaya antara pertanian organik dan sistem konvensional, peneliti menjumpai bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam biaya produksi (total cost) antara keduanya; hanya komposisinya saja yang berbeda. Biaya tenaga kerja lebih tinggi di pertanian organik, sedangkan biaya sarana produksi pertanian (saprotan) seperti pupuk dan pestisida kimia lebih besar di pertanian konvensional (Argiles dan Brown 2010).
Penelitian Cavigelli et al. (2009) membandingkan kinerja ekonomi jangka panjang antara metode pertanian organik dan pertanian konvensional di kawasan Atlantik Tengah. Perbandingan dilakukan untuk organic grain dan forage. Dari penelitian mereka, Cavigelli et al. (2009) menyimpulkan bahwa pada tingkat harga premium maka hasil bersih (net return) pertanian organik adalah 2,4 kali lebih tinggi daripada hasil pertanian konvensional; sebaliknya risiko pertanian organik adalah 1,7 lebih rendah dibanding pertanian konvensional. Kelebihan metode bertani organik yang lain adalah, dalam jangka panjang hasil produksinya meningkat dan sebaliknya, biaya produksi menurun (Cavigelli et al., 2009).
Seufert, Ramakutty & Foley (2012) melakukan studi pustaka atas hasil penelitian tentang kinerja pertanian organik dibandingkan pertanian konvensional, di 66 negara, mencakup 34 jenis tanaman. Meta-analysis yang dilakukan ketiga peneliti tersebut menyimpulkan bahwa produktivitas rata-rata pertanian organik lebih rendah daripada produktivitas pertanian konvensional. Namun sejauh mana perbedaannya sangat bervariasi, baik berdasarkan jenis tanaman, maupun kelompok negara (maju VS berkembang). Secara umum perbedaan produktivitas antara pertanian organik dan pertanian konvensional di negara maju adalah 20%; jika kelompok negara maju digabungkan dengan kelompok negara berkembang perbedaannya menjadi 25%. Jenis buah-buahan organik hanya 3% lebih rendah produktivitasnya dibandingkan dengan buah-buahan dari perkebunan konvensional. Secara umum, best practices dari kedua sistem pertanian tersebut memberikan hasil yang berbeda sejauh 13%, rata-rata produktivitas pertanian organik lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata produktivitas pertanian konvensional.
Berkaitan dengan potensi pertanian organik sebagai mata pencaharian yang dapat diandalkan secara berkelanjutan (sustainable), penelitian Stone, Lieblein & Francis (2008) di Tanzania dapat menjadi rujukan. Menurut mereka, ada beberapa catatan bagi kebijakan yang harus dilakukan agar pertanian organik menjadi mata pencaharian yang mampu meningkatkan kesejahteraan petani pelakunya, yaitu: kebijakan dengan pendekatan yang bersifat menyeluruh dari semua aspek, sosial-ekonomi-lingkungan; perlunya sertifikasi produk organik, karena sertifikasi ternyata berpengaruh positif terhadap kesejahteraan petani organik, dan; kebijakan yang lebih menitikberatkan pada intervensi agroecosystem secara komprehensif, bukan hanya sekedar memaksimumkan hasil produksi (Stone, Lieblein & Francis, 2008).