REINTERPRETASI ILMU EKONOMI PERTANIAN

Apa  yang  membuat  beraneka-ragamnya  pandangan  dan  interpretasi  realitas dalam  bidang  keilmuan  itu,  khususnya  dalam  bidang  ilmu-ilmu  sosial  termasuk ekonomi?    Faktor  penentunya  adalah  falsafah  atau  orientasi metodologi  yang melandasi  ilmu  pengetahuan  itu  sendiri.  Johnson  (1986) mengidentifikasi  tiga orientasi metodologi yang melandasi ilmu ekonomi yaitu: positivisme, normativisme, dan pragmatisme. Positivisme  merupakan  faham  yang  memandang  bahwa  nilai  itu  bukanlah suatu  realitas  melainkan  hanya  ada  di  dalam  pikiran  atau  perasaan  manusia  saja. Karena sifatnya seperti itu maka positivisme menolak nilai itu sebagai bagian dari pekerjaan ilmiah.  Nilai yang dimaksud di sini adalah salah/benar atau baik/buruk.

Dalam bidang ilmu-ilmu sosial, termasuk ekonomi, terdapat faham yang menerima nilai sebagai bagian analisis tetapi sebatas diterima sebagai asumsi saja, misalnya, diasumsikan bahwa konsumen itu memaksimumkan kepuasannya, faham ini dinamakan conditional normativism. Normativisme merupakan faham yang menerima nilai itu merupakan bagian dari  realitas.    Atas  dasar  faham  ini  maka  alat-alat  riset  ilmiah  digunakan  untuk meneliti dan menghasilkan pengetahuan tentang nilai yang mana nilai itu diterima sebagai karakteristik dari realitas.   

Adapun  pragmatisme  merupakan  aliran  falsafah  ilmu  pengetahuan  yang melihat bahwa pengetahuan tentang nilai dan pengetahuan positif itu selalu saling berhubungan atau berinteraksi secara interdependen. Sejalan dengan orientasi metodologi tersebut Johnson mengelompokkan tiga jenis  riset  yaitu:  riset  disiplin  (disciplinary  research),  riset  tentang  suatu  subyek (subject  matter  research),  dan  riset  untuk  menyelesaikan  suatu  masalah  tertentu (problem solving research) yang dihadapi oleh pengambil keputusan atau sekelompok  pengambil  keputusan  yang  memiliki  masalah  yang  sama.  Dari  ketiga jenis riset tersebut akan diperoleh tiga jenis pengetahuan yaitu pengetahuan tentang disiplin (disciplinary knowledge), pengetahuan tentang suatu subyek (subject matter knowledge) dan pengetahuan tentang penyelesaian masalah (prescriptive knowledge).  Semua jenis riset memerlukan uji kesahihan obyektifitas yaitu uji kejelasan (clarity), uji koherensi (coherency), dan uji kesesuaian (correspondency). Khusus untuk problem solving research kaidah uji obyektifitasnya adalah workability atau keampuhan menyelesaikan masalah. Kekacauan dalam pemahaman akan konteks di atas akan membuat berbagai bentuk kesalahan baik dalam proses produksi pengetahuan, penyebaran pengetahuan atau pemanfaatan pengetahuan dalam masyarakat.

Ilmu ekonomi pertanian, yang merupakan bidang aplikasi dari ilmu ekonomi pada umumnya, tampak lebih banyak atau bahkan didominasi oleh pengaruh aliran positivisme. Karena  itu,  ilmu  ekonomi pertanian  yang  berkembang  di  tanah  air juga  didominasi  oleh  faham  positivisme  tersebut. Dengan  dominannya  faham  ini maka  tidak  banyak  dihasilkan  pengetahuan  tentang  nilai  dalam bidang  pertanian atau  dalam  pemikiran  pembangunan  pertanian.    Akibatnya,  apabila  kita berbicara tentang kebijakan pembangunan pertanian atau pembangunan lainnya, maka pengetahuan tentang nilai ini hanyalah sifatnya diasumsikan saja.  Padahal, dalam setiap  kebijakan  diperlukan pengetahuan  tentang  nilai  tersebut  mengingat  dalam prakteknya suatu kebijakan tidak akan pernah terlepas dari nilai.  Bahkan, pernyataan  tujuan  itu  sendiri  adalah  pernyataan  yang  menyatakan suatu  nilai.

Karena  itu  pengetahuan  tentang  nilai  diperlukan  baik  sebagai  pedoman  maupun sebagai bagian integral dari suatu kebijakan pembangunan.  Kesenjangan kebutuhan pengetahuan normatif yang diperlukan oleh penentu kebijakan  di  satu  pihak  dengan  bidang  riset  ilmu  sosial  ekonomi  di  pihak  lain sebagai  produsen  pengetahuan  yang  tidak  melihat  nilai  sebagai  subyek  dari  ilmu pengetahuan  melahirkan  kondisi  yang  kurang  menguntungkan.    Pertama,  hal-hal yang berkaitan dengan nilai akhirnya ditetapkan secara ad hoc; kedua, pengetahuan tentang nilai tidak berkembang; dan terakhir, bidang ilmu sosial ekonomi pertanian itu sendiri menjadi kerdil.

Jadi, orientasi metodologi apa yang diperlukan untuk Indonesia yang merupakan negara berkembang dan memiliki karakteristik negara dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika? Penulis  berpendapat bahwa  lebih  tepat  kita  mengambil  makna  dari  seluruh orientasi  metodologi  dengan mengembangkan  sikap  eclectisism  yaitu  menerima beragam  cabang  falsafah  ilmu  dan menggunakannya  sesuai  dengan  konteks  dan tujuan yang ada mengingat beragamnya masalah yang dihadapi dan masing-masing orientasi  metodologi  memiliki  kelemahan  atau  kelebihan  masing-masing.  Faham ini  sebenarnya  merupakan  turunan  dari  faham  atau  falsafah  negara  kita  yaitu Pancasila.

Sebelum kita membahas ilmu ekonomi pertanian, perlu disampaikan terlebih dahulu  gambaran  umum  ilmu  sosiologi  yang  menjadi  subyek  ilmu  pengetahuan yang mendalami bidang sosial.  Subyek  analisis  ekonomi  pertanian  yang  perlu dipilih  bukanlah  komoditas  melainkan  manusia  dan  institusinya  dengan  melihat transaksi sebagai unit analisis.  Dengan demikian menjadi penting untuk mengenal variasi  dalam  teori  sosiologi  yang  mana  hal  ini  akan  berkaitan  erat  dengan  ilmu ekonomi pertanian yang menjadi subyek bab ini.  Di antara  para pemikir  dalam bidang  ilmu sosiologi, Sorokin (1928) mengelompokkan 13 mazhab ilmu sosiologi, yaitu: (1) aliran mekanistik, (2) aliran Frederic  Le  Play,  (3)  aliran  Geografi,  (4)  aliran  interpretasi  biologi,  (5)  aliran rasial,  seleksi  dan  hereditaris,  (6)  aliran  ―struggle  for  existence‖  dan  sosiologi perang,  (7)  aliran  cabang  biologi  dan  aliran  demografi,  (8)  aliran  sosiologi,  (9) Formal  School  and  Systematics  of  Social  Relationships,  (10)  aliran  sosiologi cabang ekonomi, (11) aliran psikologi, (12) aliran teori psycho-sociologistic agama,  adat,  hukum,  opini  publik,  seni  dan  fenomena  kultural  lainnya,  dan  (13) aliran lainnya.

Dalam bidang ekonomi, American Economic Association (AEA) mengklasifikasikan ilmu ekonomi kedalam kelompok berikut:

 A - General Economics and Teaching
 B - History of Economic Thought, Methodology, and Heterodox Approaches
 C - Mathematical and Quantitative Methods
 D - Microeconomics
 E - Macroeconomics and Monetary Economics
 F - International Economics
 G - Financial Economics
 H - Public Economics
 I - Health, Education, and Welfare
 J - Labor and Demographic Economics
 K - Law and Economics
 L - Industrial Organization
 M - Business Administration and Business Economics; Marketing; Accounting
 N - Economic History
 O - Economic Development, Technological Change, and Growth
 P - Economic Systems
 Q - Agricultural and Natural Resource Economics; Environmental and Ecological Economics
 R - Urban, Rural, and Regional Economics
 Y - Miscellaneous Categories
 Z - Other Special Topics

Kelompok Q, yaitu Agricultural and Natural Resource Economics; Environmental and Ecological Economics, oleh AEA dirinci kedalam:
Q00 - General  
Q01 - Sustainable Development  
Q02 - Global Commodity Crises  
Q1 - Agriculture
Q10 - General  
Q11 - Aggregate Supply and Demand Analysis; Prices  
Q12 - Micro Analysis of Farm Firms, Farm Households, and Farm Input Markets  
Q13 - Agricultural Markets and Marketing; Cooperatives; Agribusiness  
Q14 - Agricultural Finance  
Q15 - Land Ownership and Tenure; Land Reform; Land Use; Irrigation; Agriculture and Environment  
Q16 - R&D; Agricultural Technology; Biofuels; Agricultural Extension Services  
Q17 - Agriculture in International Trade  
Q18 - Agricultural Policy; Food Policy  
Q19 - Other  
 
Q2 - Renewable Resources and Conservation
Q20 - General  
Q21 - Demand and Supply  
Q22 - Fishery; Aquaculture  
Q23 - Forestry  
Q24 - Land  
Q25 - Water  
Q26 - Recreational Aspects of Natural Resources  
Q27 - Renewable Resources and Conservation: Issues in International Trade  
Q28 - Government Policy  
Q29 - Other  
 
Q3 - Nonrenewable Resources and Conservation
 Q30 - General  
Q31 - Demand and Supply  
Q32 - Exhaustible Resources and Economic Development  
Q34 - Natural Resources and Domestic and International Conflicts  
Q33 - Resource Booms  
Q38 - Government Policy  
Q39 - Other  
 
Q4 - Energy
 Q40 - General  
Q41 - Demand and Supply  
Q42 - Alternative Energy Sources  
Q43 - Energy and the Macroeconomy  
Q47 - Energy Forecasting  
Q48 - Government Policy
Q49 - Other  
 
Q5 - Environmental Economics
 Q50 - General  
Q51 - Valuation of Environmental Effects  
Q52 - Pollution Control Adoption Costs; Distributional Effects; Employment Effects  
Q53 - Air Pollution; Water Pollution; Noise; Hazardous Waste; Solid Waste; Recycling  
Q54 - Climate; Natural Disasters; Global Warming  
Q55 - Technological Innovation  

Q56  -  Environment  and  Development;  Environment  and  Trade;  Sustainability;  Environmental  Accounts and Accounting; Environmental Equity; Population Growth  

Q57  -  Ecological  Economics:  Ecosystem  Services;  Biodiversity  Conservation;  Bioeconomics;  Industrial Ecology  
Q58 - Government Policy  
Q59 - Other   

Khusus mengenai subyek budaya, sosiologi dan antropologi yang dipandang sebagai bidang spesialisasi dari ekonomi diberi lambang dengan huruf Z berjudul Other Special Topics, sebagai berikut:    

Z - Other Special Topics
Z0 - General
 
Z00 - General  
Z1 - Cultural Economics; Economic Sociology; Economic Anthropology
 
Z10 - General  
Z11 - Economics of the Arts and Literature  
Z12 - Religion  
Z13 - Economic Sociology; Economic Anthropology; Social and Economic Stratification  

Buchanan  (1979)  apabila  memang  menjadi  begitu  apa  yang  dimaksud  dengan ilmu ekonomi maka sebaiknya ilmu ekonomi itu diserahkan saja kepada matematikawan. Persoalan yang dihadapi negara-negara berkembang, khususnya yang menderita penjajahan  yang sangat  lama  tentu mengalami perbedaan  budaya  dari bangsa-bangsa yang pernah menjajahnya. Lahirnya kata pembangunan itu sendiri merefleksikan makna bahwa industrialisasi  di negara berkembang tidak akan berjalan  dengan  sendirinya  sebagaimana  yang  dialami  oleh  sejarah  negara-negara di  Eropa  atau  Amerika  Serikat. Bahkan,  negara-negara  di  Amerika  Latin  yang berasal  dari  Eropa  juga  ternyata  tidak  mengalami  perjalanan  sejarah  yang  sama, melainkan  berbelok  menjadi  negara  berkembang  sampai  sekarang. Tentu  hal tersebut  tidak  dapat  dijelaskan  oleh  fenomena  alam  atau  komoditas  melainkan hanya bisa dijelaskan oleh terjadinya perbedaan budaya dalam proses perkembangan  bangsa-bangsa  tersebut. Sebagai  ilustrasi,  pada  tahun  1870-an Argentina  lebih  maju  dari  Jerman,  tetapi  100  tahun  kemudian  Jerman  menjadi negara  maju  terkemuka  sedangkan  Argentina  masih  menjadi  negara  berkembang.  Data  atau  bukti-bukti  semacam  inilah  yang  tidak  dapat  menolak  bahwa  sosial-budaya masyarakat tidak penting, apalagi dalam bidang pembangunan pertanian. 

Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa faktor sosial-ekonomi ini, khususnya  yang  biasa  dinamakan  kultur  atau  budaya,  menjadi  unsur  yang  sangat penting  dalam  pembahasan  pembangunan  pada  masa  mendatang. State  of  The World  2010  yang  diterbitkan  oleh  The  Worldwatch  Institute  (2010)  memilih tema khusus: Transforming Cultures, from Consumerism to Sustainability.27  Buku ini  penuh  dengan  informasi  dan  data  penting  serta  hasil  analisis  yang  perlu diketahui  apabila  dunia  menghendaki  bumi  satu-satunya  tempat  hidup  kita  ini  terjaga, terpelihara dan lestari.  Menurut buku ini (Tabel 1), apabila standar tingkat hidup  tingkat  konsumsi  rendah  dengan  patokan  pendapatan  per  kapita  rata-rata US$ 1230 (nilai dollar tahun 2008 PPP), maka bumi, sesuai dengan kapasitasnya, dapat dihuni  oleh 13,6  milyar  jiwa. Tetapi,  apabila  menggunakan  standar tingkat hidup rata-rata Amerika Serikat, maka kapasitas bumi untuk menghidupi  manusia hanya  mampu  sampai  5  milyar  jiwa. Kondisi  saat  ini,  penduduk  dunia  sudah  6 milyar jiwa lebih, karena itu, sudah melampaui kapasitas lestari bumi ini.  Kesimpulannya:  diperlukan  transformasi  budaya  dari  budaya  konsumerisme  ke budaya pelestarian.  Atas  dasar  pemikiran  bahwa  ilmu-ilmu  sosial  ekonomi  pertanian  adalah sebagai  faktor  penting  dalam  perubahan  budaya,  khususnya  untuk  pemerdekaan petani di negara berkembang, maka kita perlu mendalami perkembangan kontribusi ilmu pengetahuan ekonomi pertanian terhadap proses tersebut. Perlu penulis kemukakan sejak awal agar tidak terjadi kesalahan pemahaman  bahwa  apa  yang  dimaksud  di  atas  bukanlah  sebagai  ajakan  membangun  proses politik  praktis  sehingga  ilmu  pengetahuan  dijadikan  bahan  propaganda  ilmiah.

Yang dimaksud adalah diperlukannya suatu reorientasi pendidikan, penelitian dan pengembangan  terhadap  subyek  pemerdekaan  petani  yang  selama  ini  terabaikan melalui pengamalan ilmu sosial ekonomi pertanian.  Ilmu  pengetahuan  perlu  dipandang sebagai pencerah,  obor  atau  bahkan  api yang menyala-nyala untuk memberikan kontribusi perubahan positif bagi pembangunan pertanian sebagaimana yang dimaksud di atas. Hal ini sangat penting  mengingat pada  fase penerapan ilmu  itu  tidak  terbebas  dari  nilai. Sebagai ilustrasi,  semua  teori  itu  berlaku umum  tetapi  pada  saat  ia  akan  dipakai,  kondisi lingkungan  lokal  membuatnya  menjadi  unik, misalnya,  secara  umum  diterima bahwa  titik  didih  air  itu  100C  tetapi  ini  hanya  terjadi  apabila air  dididihkan  di pantai pada ketinggian 0 meter dari muka laut. 

Demikian pun halnya dengan teori ekonomi pada saat ia diterapkan pada pertanian maka diperlukan pemahaman baru akan keunikan-keunikannya.  Sebagaimana  telah  diuraikan  bahwa  ilmu  ekonomi  pertanian  diperlukan untuk memberikan  kontribusi  dalam  rangka  mewujudkan  cita-cita  kemerdekaan. Amanah UUD 1945 itu perlu diterjemahkan ke dalam model pendidikan, penelitian atau  pengembangan  ilmu  ekonomi pertanian  di  Indonesia  dan  untuk  Indonesia.  Berikut  ini  kami  mencoba  memberikan  ilustrasi kasar  tentang  pengejewantahan amanah  UUD  1945  kedalam  bidang  ilmu  ekonomi  pertanian. Sebelum  penulis menyampaikan hal tersebut, terlebih dahulu digambarkan tentang perlunya dilakukan penyesuaian konteks atau ruang lingkup penerapannya mengingat perubahan zaman yang sudah terjadi.

Apapun  yang  akan  dilakukan,  utuk  hal  yang  sifatnya  penerapan  diperlukan pemahaman akan konteksnya agar penerapan tersebut dapat berjalan dengan sukses. Pembahasan  pertanian  pada  tahun 1960an,  1980an  dan  apalagi  pertanian pada abad ke-21, memerlukan pemahaman akan konteksnya tersebut dengan baik.  Dalam  literatur  kita  dapat  mengidentifikasi  bahwa  pertanian  itu  sendiri sering difahami sebagai suatu era tertentu.  Misalnya, Pink (2006) mengurutkan perkembanga zaman kedalam zaman berikut:

1)  Era pertanian—agriculture age (farmers)  (abad ke-18),
2)  Era industri—industrial age (factory worker) (abad ke-19),
3)  Era informasi—information age (knowledge workers) (abad ke-20),
4)  Era konsep—conceptual age (creators and empathizers) (abad ke-21). 

Pemikiran  Pink  di  atas  seolah-olah  dunia  ini  bergerak  linear  dengan  zaman yang  berubah, misalnya,  pandangan  Pink  apabila  tidak  ditafsirkan  dengan  baik maka  seolah-olah  pertanian  pada abad  ke-21  ini  tidak  dipentingkan  lagi.    Namun demikian, Pink sangat benar apabila kita mengartikan bahwa pembangunan pertanian  pada  zaman  sekarang  ini  situasinya  sudah  sangat berbeda  dengan  pada era abad ke-18. Pembangunan pertanian pada zaman sekarang sudah berada dalam era informasi  dan  era  konsep  baru.  Pangan  zaman  sekarang  sudah  tidak  diartikan sebagai pangan  untuk  memenuhi  rasa  kenyang  melainkan  sebagai  sarana  untuk mendapatkan  kesehatan dan  kenyamanan.  Bahkan,  apabila  kita  masukkan  benih-benih  hasil  rekayasa  genetik,  yang tingkat  penggunaannya  sudah  mencapai  148 juta  hektar  pada  tahun  2010,  pengertian  pertanian itu  sendiri  akan  berubah  total menjadi pertanian yang sangat intensif akan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sejalan  dengan  perubahan  zaman  di  atas,  telah  terjadi keragaman  pola perubahan  yang  sangat  nyata  dalam  hal  nilai-nilai  dan  perikehidupan  masyarakat dunia, sehingga diperlukan pemahaman akan esensi dari perubahan dan dampaknya  terhadap  kehidupan  baru  yang  perlu  dibangun.  Gasset  (1927)32,  Hsu (1963)33,  Toffler  (1970)34,  Downs  (1973)35,  Sowell  (1980)36,  Etzioni  (1996)37, Abramson dan Inglehart (1998)38, Elkington dan Hartigan (2008)39, Chang (2008)40,  Kano (2008)41, Sen (2009)42,  Wilkinson dan Pickett (2010)43  merupakan sumber-sumber yang dapat digunakan untuk memperkaya pemahaman kontekstual apabila kita akan menerapkan ilmu ekonomi pertanian pada lingkungan tertentu. Gasset  (1927)  memberikan  analisis  yang  sangat  tajam  akan  dampak  dari

perubahan  demografis  yang  membuat  penduduk  dunia  jumlahnya  berlipat  ganda, yang  tidak pernah  terjadi  sebelumnya.    Pertambahan  penduduk  yang  sangat  pesat pada  abad  ke  18, dipandang  Gasset  sebagai  pertambahan  massa. Pertambahan massa ini sangat dahsyat dampaknya bagi dunia mengingat sifat dasar manusia itu tidak terdapat pada massa, yaitu massa tidak memiliki sifat berpikir. Dapat  diperkirakan  apa  yang  akan  terjadi  apabila  massa  yang  besar  itu menghadapi kelaparan, kekurangan air, kekurangan ruang kehidupan, dan berbagai bentuk  keterbatasan  lainnya. Oleh  karena  itu  diperlukan  pengembangan  institusi yang dapat mengelola massa tersebut menjadi faktor-faktor positif bagi kemanusiaan dan kehidupan yang lebih luas lagi. Hsu (1963)  menyampaikan hasil  risetnya  mengenai  bagaimana  masyarakat dunia itu mengembangkan daya adaptasi melalui inovasi kelembagaan masyarakat yang mengambil tiga model utama, yaitu model clan sebagaimana yang berlaku di masyarakat  Tiongkok,  model  kasta  di  India  dan  model  club  di  Amerika  Serikat.

Model tersebut, menurut Hsu dibangun atas dasar latar belakang budaya masyarakat  yang  berbeda, yaitu  di  masyarakat  Tiongkok  dasar  perikatan  antar-individu didasarkan atas persamaan keluarga (clan), di India dasarnya adalah unsur agama (Hindu), dan di Amerika Serikat dasar utamanya adalah faham individualisme yang dipandang hal utama dalam masyarakat Barat. Pandangan Hsu ini sangatlah penting bagi kita untuk mengingatkan bahwa faktor sosial-budaya itu tidak  dapat  diabaikan  dalam pemikiran  dan  perumusan  pembangunan,  apalagi untuk pembangunan pertanian.  Toffler  (1970), Abramson  dan  Inglehart  (1998)  dan  Wilkinson  dan  Pickett (2010) dapat dipakai sebagai sumber yang memberikan pengetahuan dan inspirasi tentang pentingnya pendalaman akan perubahan-perubahan nilai dalam masyarakat.  Dalam bukunya Future Shock, Toffler menggambarkan bahwa shock itu terjadi  karena  kita  tidak memahami dan tidak mengantisipasi perubahan-perubahan  nilai-nilai  yang  berkembang  dalam  masyarakat.    Selanjutnya,  dalam Abramson dan Inglehart (1998) kita mendapatkan informasi bahwa dalam masyarakat  Barat  telah  terjadi  perubahan-perubahan  nilai secara  mendasar  yaitu nilai yang bergerak dari nilai materialisme ke nilai spiritualisme (post materialist).

Sebagai  ilustrasi,  di  Inggris  nilai  post  materialist  meningkat  dari  7%  (1970-71) menjadi  15  %  (1993),  sebaliknya  nilai  materialist  menurun  dari  36  %  (1970-71) menjadi  21  %  (1993). Perubahan  nilai  post  materialist  yang  tertinggi  terjadi  di Denmark yaitu meningkat dari 7 % menjadi 25 % pada periode di atas.  Hasil  riset  Wilkinson  dan  Pickett  (2010)  selama  50  tahun  menunjukkan bahwa  kemerataan  (equality)  adalah  baik  untuk  semua  orang.    Hasil  riset  yang penting untuk dicatat antara lain adalah:

(1) Semakin  timpang  pendapatan,  makin  tinggi  indeks  masalah  kesehatan  dan masalah sosial kelamsyarakatan;
(2)  Semakin tinggi pendapatan per kapita semakin rendah nilai indeks permasalahan kesehatan dan permasalahan sosial tetapi ini ditunjukkan oleh korelasi yang rendah;

(3)Semakin tinggi tingkat ketimpangan pendapatan, semakin rendah nilai indeks kesejahteraan anak-anak;

(4)   Semakin tinggi ketimpangan pendapatan dalam masyarakat, semakin rendah persentase jumlah individu yang dapat dipercaya;

 

Dengan mendalami klasifikasi ilmu ekonomi kedalam bidang-bidang khusus yang menjadi  spesialisasi bagi  seorang  ekonom  menurut American Economic Association sebagaimana  dikemukakan  di  atas, maka kita menemukan  bahwa bidang  yang  menyangkut  budaya  sebagai  subyek  ekonomi, sangatlah  terbatas, dengan  dikelompokkan  pada  kelompok Z. Padahal,  pada  era  Sorokin  pada awal abad  ke-20  sudah  menggolongkan  ekonomi  kedalam  sosiologi. Kekuatan  yang sangat  besar  telah menggeser  ekonomi  menjadi  ilmu  seperti  fisika,  yaitu  bukan manusia dan institusinya yang menjadi subyek studi melainkan komoditas dengan matematik menjadi bahasa atau alat utama dalam eksplorasinya. Hasil  riset  Wilkinson  dan  Pickett  (2010)  selama  50  tahun  menunjukkan bahwa kemerataan  (equality)  adalah  baik  untuk  semua  orang.    Hasil  riset  yang penting untuk dicatat antara lain adalah:

(5)  Semakin tinggi ketimpangan pendapatan, semakin rendah persentasi pendapatan nasional yang disumbangkan untuk bantuan luar negeri;

(6)  Semakin tinggi ketimpangan pendapatan, semakin tinggi persentase masyarakat yang mengalami gangguan mental;

(7)  Semakin  tinggi  tingkat  ketimpangan  pendapatan  semakin  tinggi  indeks penyalah-gunaan obat-obat terlarang;

(8)  Semakin  tinggi  ketimpangan  pendapatan,  semakin  rendah  usia  harapan hidup;

(9) Semakin  tinggi  tingkat  ketimpangan  pendapatan,  semakin  tinggi  tingkat kematian bayi per 1000 kelahiran hidup;

(10)  Semakin  tinggi  tingkat  ketimpangan  pendapatan,  semakin  tinggi  tingkat penduduk yang kegemukan;

(11)  Dan  masih  banyak  lagi  hasil  penelitian  yang  penting  yang  dapat  didapat dalam buku ini. 

Sowell (1980) merupakan buku yang penting dalam memahami pengetahuan dan peran pengetahuan dalam masyarakat. Menurut Sowell peradaban merupakan instrumen yang sangat penting untuk mendapatkan manfaat dari pengetahuan. Spesialisasi sangat diperlukan untuk mendapatkan pengetahuan secara lebih baik.  Menurut Sowell ―ideas are everywhere, but knowledge is rare;

bahkan menurut Sowell pula bahwa untuk seseorang yang dijuluki ―knowledgable pada  dasarnya  ia juga  hanya  memiliki  knowledge  pada  bidang yang terbatas  saja. Semakin modern suatu masyarakat, semakin sedikit ―jumlah jenis pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing individu masyarakatnya,  tetapi  makin  dalam pengetahuan  dalam  satu subyek  yang  didalaminya. Sebaliknya, untuk  individu yang berada dalam  masyarakat tradisional, ia harus memiliki pengetahuan hampir semua  jenis  pengetahuan  agar  ia  dapat  tetap  hidup,  mulai  dengan  jenis  tanaman dan hewan yang bisa dimakan, cara dan kemampuan menangkap atau mengumpulkannya, cara menanam dan memeilih musim yang baik untuk menanamnya, mengetahui ―obat‖ apa yang diperlukan untuk mengobati berbagai jenis penyakit, dan seterusnya.   

Etzioni  (1996) dalam  bukunya  ―The  New  Golden Rule  pada  dasarnya adalah  memberikan landasan yang kokoh untuk dijadikan bahan diskusi  tentang perlunya dasar-dasar etika untuk menmperkuat solidaritas sosial dalam masyarakat. Etzioni membangun konsep apa yang dinamakan good society dan communitarian movement.  Pandangan Sen (2009) sangat penting untuk dijadikan referensi dalam pendalaman ide dan teori Justice. Berbeda dengan para pemikir di bidang ini, yang mengembangkan  teori  pada  kondisi  ideal,  Sen  mengembangkan  pemikiran  dalam dunia semacam yang dihadapi sekarang ini, yang diperlukan bukanlah teori keadilan  pada  kondisi  ideal,  melain  teori  yang  dapat  digunakan  sebagai  dasar membuat kebijaksanaan pada kondisi riil yang kita hadapi. 

Sejalan dengan pemikiran  tersebut,  tetapi  dalam  bidang  berbeda,  Elkington  dan  Hartigan  (2008) mengemukakan argumen yang menjadi argumen utamanya bahwa perubahan besar itu memerlukan sekelompok entrepreneur yang tergolong ―unreasonable people‖. Chang  (2008)  dalam bukunya ― Bad  Samaritans‖ menunjukkan bahwa free trade dan kapitalisme itu hanyalah kamuflase atau strategi dari negara-negara maju untuk  mengelabui  negara-negara  berkembang,  yang  pernah  dijajah  mereka. 

Kano (2008) memberikan perspektif panjang tentang sejarah perkembangan perekonomian Indonesia yaitu antara 1850-2000.  Buku banyak memberikan inspirasi penting bagi strategi dan kebijaksanaan pembangunan ekonomi ke depan pada umumnya dan pembangunan pertanian pada khususnya. Sejarahmenunjukkan  bahwa  ekonomi  Indonesia  telah  mengalami  pasang  surut  dengan struktur yang  sifatnya  dualistik,  yaitu  kepentingan  ekspor  yang  menjadi  prioritas pemerintah  kolonial  dan kepentingan  produksi  pangan  untuk  stabilitas  nasional.  Dalam perjalanan ekonomi ekspornya Indonesia telah mengalami zaman keemasan rempah-rempah,  gula,  karet,  minyak  bumi  dan  hasil hutan,  dan  sekarang  kelapa sawit.

Kano  mengingatkan  bahwa  kemajuan  ekonomi  sebenarnya belum  terlihat mengingat ekspor komoditas Indonesia didominasi oleh ekspor bahan mentah dan juga makin meningkatnya komponen impor.  Terlebih lagi apabila kita menggunakan indikator service account balance maka nilai totalnya selalu negatif; nilai  positif  dalam  service  account  balance  hanyalah  merupakan  kontribusi  dari Tenaga  Kerja  Indonesia dan  perjalanan  (wisata).  Kesimpulan yang  paling penting dari Kano untuk pertanian di Indonesia, khususnya di Jawa, adalah tidak terlihatnya  fenomena  transformasi  ekonomi  sebagaimana  yang  terjadi  di  Jepang atau  di  negara-negara  yang  telah  mengalami  penurunan  persentase  petani  yang makin  mengecil.

Yang  menambah  berat  Indonesia  pada  masa  mendatang  adalah meningkatnya  pembatas  ekologi  untuk  ekspansi  produksi  pertanian,  perdesaan menghadapi  “de-agrarianization”  dan  memaksa  angkatan  kerja  untuk  mencari pekerjaan  di  luar  pertanian. Sementara  itu,  Indonesia  menghadapi  pembatas kapasitas  industri  skala  besar  dalam  menyerap  tenaga  kerja  dan  hanya  dapat mengandalkan sektor informal dalam penyerapan kerja di daerah urban.  Kesimpulan utama  yang dibuat Kano adalah pengalaman pembangunan di Jepang  sangat  kecil  kemungkinannya  dapat  diulangi  di  Indonesia,  tetapi  juga  belum  jelas apakah Indonesia akan menjadi pelopor dalam membangun jalan baru pembangunan ekonomi pada abad ke-21.

Related Posts

Subscribe Our Newsletter