Apa yang membuat beraneka-ragamnya pandangan dan interpretasi realitas dalam bidang keilmuan itu, khususnya dalam bidang ilmu-ilmu sosial termasuk ekonomi? Faktor penentunya adalah falsafah atau orientasi metodologi yang melandasi ilmu pengetahuan itu sendiri. Johnson (1986) mengidentifikasi tiga orientasi metodologi yang melandasi ilmu ekonomi yaitu: positivisme, normativisme, dan pragmatisme. Positivisme merupakan faham yang memandang bahwa nilai itu bukanlah suatu realitas melainkan hanya ada di dalam pikiran atau perasaan manusia saja. Karena sifatnya seperti itu maka positivisme menolak nilai itu sebagai bagian dari pekerjaan ilmiah. Nilai yang dimaksud di sini adalah salah/benar atau baik/buruk.
Dalam bidang ilmu-ilmu sosial, termasuk ekonomi, terdapat faham yang menerima nilai sebagai bagian analisis tetapi sebatas diterima sebagai asumsi saja, misalnya, diasumsikan bahwa konsumen itu memaksimumkan kepuasannya, faham ini dinamakan conditional normativism. Normativisme merupakan faham yang menerima nilai itu merupakan bagian dari realitas. Atas dasar faham ini maka alat-alat riset ilmiah digunakan untuk meneliti dan menghasilkan pengetahuan tentang nilai yang mana nilai itu diterima sebagai karakteristik dari realitas.
Adapun pragmatisme merupakan aliran falsafah ilmu pengetahuan yang melihat bahwa pengetahuan tentang nilai dan pengetahuan positif itu selalu saling berhubungan atau berinteraksi secara interdependen. Sejalan dengan orientasi metodologi tersebut Johnson mengelompokkan tiga jenis riset yaitu: riset disiplin (disciplinary research), riset tentang suatu subyek (subject matter research), dan riset untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu (problem solving research) yang dihadapi oleh pengambil keputusan atau sekelompok pengambil keputusan yang memiliki masalah yang sama. Dari ketiga jenis riset tersebut akan diperoleh tiga jenis pengetahuan yaitu pengetahuan tentang disiplin (disciplinary knowledge), pengetahuan tentang suatu subyek (subject matter knowledge) dan pengetahuan tentang penyelesaian masalah (prescriptive knowledge). Semua jenis riset memerlukan uji kesahihan obyektifitas yaitu uji kejelasan (clarity), uji koherensi (coherency), dan uji kesesuaian (correspondency). Khusus untuk problem solving research kaidah uji obyektifitasnya adalah workability atau keampuhan menyelesaikan masalah. Kekacauan dalam pemahaman akan konteks di atas akan membuat berbagai bentuk kesalahan baik dalam proses produksi pengetahuan, penyebaran pengetahuan atau pemanfaatan pengetahuan dalam masyarakat.
Ilmu ekonomi pertanian, yang merupakan bidang aplikasi dari ilmu ekonomi pada umumnya, tampak lebih banyak atau bahkan didominasi oleh pengaruh aliran positivisme. Karena itu, ilmu ekonomi pertanian yang berkembang di tanah air juga didominasi oleh faham positivisme tersebut. Dengan dominannya faham ini maka tidak banyak dihasilkan pengetahuan tentang nilai dalam bidang pertanian atau dalam pemikiran pembangunan pertanian. Akibatnya, apabila kita berbicara tentang kebijakan pembangunan pertanian atau pembangunan lainnya, maka pengetahuan tentang nilai ini hanyalah sifatnya diasumsikan saja. Padahal, dalam setiap kebijakan diperlukan pengetahuan tentang nilai tersebut mengingat dalam prakteknya suatu kebijakan tidak akan pernah terlepas dari nilai. Bahkan, pernyataan tujuan itu sendiri adalah pernyataan yang menyatakan suatu nilai.
Karena itu pengetahuan tentang nilai diperlukan baik sebagai pedoman maupun sebagai bagian integral dari suatu kebijakan pembangunan. Kesenjangan kebutuhan pengetahuan normatif yang diperlukan oleh penentu kebijakan di satu pihak dengan bidang riset ilmu sosial ekonomi di pihak lain sebagai produsen pengetahuan yang tidak melihat nilai sebagai subyek dari ilmu pengetahuan melahirkan kondisi yang kurang menguntungkan. Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan nilai akhirnya ditetapkan secara ad hoc; kedua, pengetahuan tentang nilai tidak berkembang; dan terakhir, bidang ilmu sosial ekonomi pertanian itu sendiri menjadi kerdil.
Jadi, orientasi metodologi apa yang diperlukan untuk Indonesia yang merupakan negara berkembang dan memiliki karakteristik negara dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika? Penulis berpendapat bahwa lebih tepat kita mengambil makna dari seluruh orientasi metodologi dengan mengembangkan sikap eclectisism yaitu menerima beragam cabang falsafah ilmu dan menggunakannya sesuai dengan konteks dan tujuan yang ada mengingat beragamnya masalah yang dihadapi dan masing-masing orientasi metodologi memiliki kelemahan atau kelebihan masing-masing. Faham ini sebenarnya merupakan turunan dari faham atau falsafah negara kita yaitu Pancasila.
Sebelum kita membahas ilmu ekonomi pertanian, perlu disampaikan terlebih dahulu gambaran umum ilmu sosiologi yang menjadi subyek ilmu pengetahuan yang mendalami bidang sosial. Subyek analisis ekonomi pertanian yang perlu dipilih bukanlah komoditas melainkan manusia dan institusinya dengan melihat transaksi sebagai unit analisis. Dengan demikian menjadi penting untuk mengenal variasi dalam teori sosiologi yang mana hal ini akan berkaitan erat dengan ilmu ekonomi pertanian yang menjadi subyek bab ini. Di antara para pemikir dalam bidang ilmu sosiologi, Sorokin (1928) mengelompokkan 13 mazhab ilmu sosiologi, yaitu: (1) aliran mekanistik, (2) aliran Frederic Le Play, (3) aliran Geografi, (4) aliran interpretasi biologi, (5) aliran rasial, seleksi dan hereditaris, (6) aliran ―struggle for existence‖ dan sosiologi perang, (7) aliran cabang biologi dan aliran demografi, (8) aliran sosiologi, (9) Formal School and Systematics of Social Relationships, (10) aliran sosiologi cabang ekonomi, (11) aliran psikologi, (12) aliran teori psycho-sociologistic agama, adat, hukum, opini publik, seni dan fenomena kultural lainnya, dan (13) aliran lainnya.
Dalam bidang ekonomi, American Economic Association (AEA) mengklasifikasikan ilmu ekonomi kedalam kelompok berikut:
A - General Economics and Teaching
B - History of Economic Thought, Methodology, and Heterodox Approaches
C - Mathematical and Quantitative Methods
D - Microeconomics
E - Macroeconomics and Monetary Economics
F - International Economics
G - Financial Economics
H - Public Economics
I - Health, Education, and Welfare
J - Labor and Demographic Economics
K - Law and Economics
L - Industrial Organization
M - Business Administration and Business Economics; Marketing; Accounting
N - Economic History
O - Economic Development, Technological Change, and Growth
P - Economic Systems
Q - Agricultural and Natural Resource Economics; Environmental and Ecological Economics
R - Urban, Rural, and Regional Economics
Y - Miscellaneous Categories
Z - Other Special Topics
Kelompok Q, yaitu Agricultural and Natural Resource Economics; Environmental and Ecological Economics, oleh AEA dirinci kedalam:
Q00 - General
Q01 - Sustainable Development
Q02 - Global Commodity Crises
Q1 - Agriculture
Q10 - General
Q11 - Aggregate Supply and Demand Analysis; Prices
Q12 - Micro Analysis of Farm Firms, Farm Households, and Farm Input Markets
Q13 - Agricultural Markets and Marketing; Cooperatives; Agribusiness
Q14 - Agricultural Finance
Q15 - Land Ownership and Tenure; Land Reform; Land Use; Irrigation; Agriculture and Environment
Q16 - R&D; Agricultural Technology; Biofuels; Agricultural Extension Services
Q17 - Agriculture in International Trade
Q18 - Agricultural Policy; Food Policy
Q19 - Other
Q2 - Renewable Resources and Conservation
Q20 - General
Q21 - Demand and Supply
Q22 - Fishery; Aquaculture
Q23 - Forestry
Q24 - Land
Q25 - Water
Q26 - Recreational Aspects of Natural Resources
Q27 - Renewable Resources and Conservation: Issues in International Trade
Q28 - Government Policy
Q29 - Other
Q3 - Nonrenewable Resources and Conservation
Q30 - General
Q31 - Demand and Supply
Q32 - Exhaustible Resources and Economic Development
Q34 - Natural Resources and Domestic and International Conflicts
Q33 - Resource Booms
Q38 - Government Policy
Q39 - Other
Q4 - Energy
Q40 - General
Q41 - Demand and Supply
Q42 - Alternative Energy Sources
Q43 - Energy and the Macroeconomy
Q47 - Energy Forecasting
Q48 - Government Policy
Q49 - Other
Q5 - Environmental Economics
Q50 - General
Q51 - Valuation of Environmental Effects
Q52 - Pollution Control Adoption Costs; Distributional Effects; Employment Effects
Q53 - Air Pollution; Water Pollution; Noise; Hazardous Waste; Solid Waste; Recycling
Q54 - Climate; Natural Disasters; Global Warming
Q55 - Technological Innovation
Q56 - Environment and Development; Environment and Trade; Sustainability; Environmental Accounts and Accounting; Environmental Equity; Population Growth
Q57 - Ecological Economics: Ecosystem Services; Biodiversity Conservation; Bioeconomics; Industrial Ecology
Q58 - Government Policy
Q59 - Other
Khusus mengenai subyek budaya, sosiologi dan antropologi yang dipandang sebagai bidang spesialisasi dari ekonomi diberi lambang dengan huruf Z berjudul Other Special Topics, sebagai berikut:
Z - Other Special Topics
Z0 - General
Z00 - General
Z1 - Cultural Economics; Economic Sociology; Economic Anthropology
Z10 - General
Z11 - Economics of the Arts and Literature
Z12 - Religion
Z13 - Economic Sociology; Economic Anthropology; Social and Economic Stratification
Buchanan (1979) apabila memang menjadi begitu apa yang dimaksud dengan ilmu ekonomi maka sebaiknya ilmu ekonomi itu diserahkan saja kepada matematikawan. Persoalan yang dihadapi negara-negara berkembang, khususnya yang menderita penjajahan yang sangat lama tentu mengalami perbedaan budaya dari bangsa-bangsa yang pernah menjajahnya. Lahirnya kata pembangunan itu sendiri merefleksikan makna bahwa industrialisasi di negara berkembang tidak akan berjalan dengan sendirinya sebagaimana yang dialami oleh sejarah negara-negara di Eropa atau Amerika Serikat. Bahkan, negara-negara di Amerika Latin yang berasal dari Eropa juga ternyata tidak mengalami perjalanan sejarah yang sama, melainkan berbelok menjadi negara berkembang sampai sekarang. Tentu hal tersebut tidak dapat dijelaskan oleh fenomena alam atau komoditas melainkan hanya bisa dijelaskan oleh terjadinya perbedaan budaya dalam proses perkembangan bangsa-bangsa tersebut. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1870-an Argentina lebih maju dari Jerman, tetapi 100 tahun kemudian Jerman menjadi negara maju terkemuka sedangkan Argentina masih menjadi negara berkembang. Data atau bukti-bukti semacam inilah yang tidak dapat menolak bahwa sosial-budaya masyarakat tidak penting, apalagi dalam bidang pembangunan pertanian.
Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa faktor sosial-ekonomi ini, khususnya yang biasa dinamakan kultur atau budaya, menjadi unsur yang sangat penting dalam pembahasan pembangunan pada masa mendatang. State of The World 2010 yang diterbitkan oleh The Worldwatch Institute (2010) memilih tema khusus: Transforming Cultures, from Consumerism to Sustainability.27 Buku ini penuh dengan informasi dan data penting serta hasil analisis yang perlu diketahui apabila dunia menghendaki bumi satu-satunya tempat hidup kita ini terjaga, terpelihara dan lestari. Menurut buku ini (Tabel 1), apabila standar tingkat hidup tingkat konsumsi rendah dengan patokan pendapatan per kapita rata-rata US$ 1230 (nilai dollar tahun 2008 PPP), maka bumi, sesuai dengan kapasitasnya, dapat dihuni oleh 13,6 milyar jiwa. Tetapi, apabila menggunakan standar tingkat hidup rata-rata Amerika Serikat, maka kapasitas bumi untuk menghidupi manusia hanya mampu sampai 5 milyar jiwa. Kondisi saat ini, penduduk dunia sudah 6 milyar jiwa lebih, karena itu, sudah melampaui kapasitas lestari bumi ini. Kesimpulannya: diperlukan transformasi budaya dari budaya konsumerisme ke budaya pelestarian. Atas dasar pemikiran bahwa ilmu-ilmu sosial ekonomi pertanian adalah sebagai faktor penting dalam perubahan budaya, khususnya untuk pemerdekaan petani di negara berkembang, maka kita perlu mendalami perkembangan kontribusi ilmu pengetahuan ekonomi pertanian terhadap proses tersebut. Perlu penulis kemukakan sejak awal agar tidak terjadi kesalahan pemahaman bahwa apa yang dimaksud di atas bukanlah sebagai ajakan membangun proses politik praktis sehingga ilmu pengetahuan dijadikan bahan propaganda ilmiah.
Yang dimaksud adalah diperlukannya suatu reorientasi pendidikan, penelitian dan pengembangan terhadap subyek pemerdekaan petani yang selama ini terabaikan melalui pengamalan ilmu sosial ekonomi pertanian. Ilmu pengetahuan perlu dipandang sebagai pencerah, obor atau bahkan api yang menyala-nyala untuk memberikan kontribusi perubahan positif bagi pembangunan pertanian sebagaimana yang dimaksud di atas. Hal ini sangat penting mengingat pada fase penerapan ilmu itu tidak terbebas dari nilai. Sebagai ilustrasi, semua teori itu berlaku umum tetapi pada saat ia akan dipakai, kondisi lingkungan lokal membuatnya menjadi unik, misalnya, secara umum diterima bahwa titik didih air itu 100C tetapi ini hanya terjadi apabila air dididihkan di pantai pada ketinggian 0 meter dari muka laut.
Demikian pun halnya dengan teori ekonomi pada saat ia diterapkan pada pertanian maka diperlukan pemahaman baru akan keunikan-keunikannya. Sebagaimana telah diuraikan bahwa ilmu ekonomi pertanian diperlukan untuk memberikan kontribusi dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Amanah UUD 1945 itu perlu diterjemahkan ke dalam model pendidikan, penelitian atau pengembangan ilmu ekonomi pertanian di Indonesia dan untuk Indonesia. Berikut ini kami mencoba memberikan ilustrasi kasar tentang pengejewantahan amanah UUD 1945 kedalam bidang ilmu ekonomi pertanian. Sebelum penulis menyampaikan hal tersebut, terlebih dahulu digambarkan tentang perlunya dilakukan penyesuaian konteks atau ruang lingkup penerapannya mengingat perubahan zaman yang sudah terjadi.
Apapun yang akan dilakukan, utuk hal yang sifatnya penerapan diperlukan pemahaman akan konteksnya agar penerapan tersebut dapat berjalan dengan sukses. Pembahasan pertanian pada tahun 1960an, 1980an dan apalagi pertanian pada abad ke-21, memerlukan pemahaman akan konteksnya tersebut dengan baik. Dalam literatur kita dapat mengidentifikasi bahwa pertanian itu sendiri sering difahami sebagai suatu era tertentu. Misalnya, Pink (2006) mengurutkan perkembanga zaman kedalam zaman berikut:
1) Era pertanian—agriculture age (farmers) (abad ke-18),
2) Era industri—industrial age (factory worker) (abad ke-19),
3) Era informasi—information age (knowledge workers) (abad ke-20),
4) Era konsep—conceptual age (creators and empathizers) (abad ke-21).
Pemikiran Pink di atas seolah-olah dunia ini bergerak linear dengan zaman yang berubah, misalnya, pandangan Pink apabila tidak ditafsirkan dengan baik maka seolah-olah pertanian pada abad ke-21 ini tidak dipentingkan lagi. Namun demikian, Pink sangat benar apabila kita mengartikan bahwa pembangunan pertanian pada zaman sekarang ini situasinya sudah sangat berbeda dengan pada era abad ke-18. Pembangunan pertanian pada zaman sekarang sudah berada dalam era informasi dan era konsep baru. Pangan zaman sekarang sudah tidak diartikan sebagai pangan untuk memenuhi rasa kenyang melainkan sebagai sarana untuk mendapatkan kesehatan dan kenyamanan. Bahkan, apabila kita masukkan benih-benih hasil rekayasa genetik, yang tingkat penggunaannya sudah mencapai 148 juta hektar pada tahun 2010, pengertian pertanian itu sendiri akan berubah total menjadi pertanian yang sangat intensif akan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sejalan dengan perubahan zaman di atas, telah terjadi keragaman pola perubahan yang sangat nyata dalam hal nilai-nilai dan perikehidupan masyarakat dunia, sehingga diperlukan pemahaman akan esensi dari perubahan dan dampaknya terhadap kehidupan baru yang perlu dibangun. Gasset (1927)32, Hsu (1963)33, Toffler (1970)34, Downs (1973)35, Sowell (1980)36, Etzioni (1996)37, Abramson dan Inglehart (1998)38, Elkington dan Hartigan (2008)39, Chang (2008)40, Kano (2008)41, Sen (2009)42, Wilkinson dan Pickett (2010)43 merupakan sumber-sumber yang dapat digunakan untuk memperkaya pemahaman kontekstual apabila kita akan menerapkan ilmu ekonomi pertanian pada lingkungan tertentu. Gasset (1927) memberikan analisis yang sangat tajam akan dampak dari
perubahan demografis yang membuat penduduk dunia jumlahnya berlipat ganda, yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Pertambahan penduduk yang sangat pesat pada abad ke 18, dipandang Gasset sebagai pertambahan massa. Pertambahan massa ini sangat dahsyat dampaknya bagi dunia mengingat sifat dasar manusia itu tidak terdapat pada massa, yaitu massa tidak memiliki sifat berpikir. Dapat diperkirakan apa yang akan terjadi apabila massa yang besar itu menghadapi kelaparan, kekurangan air, kekurangan ruang kehidupan, dan berbagai bentuk keterbatasan lainnya. Oleh karena itu diperlukan pengembangan institusi yang dapat mengelola massa tersebut menjadi faktor-faktor positif bagi kemanusiaan dan kehidupan yang lebih luas lagi. Hsu (1963) menyampaikan hasil risetnya mengenai bagaimana masyarakat dunia itu mengembangkan daya adaptasi melalui inovasi kelembagaan masyarakat yang mengambil tiga model utama, yaitu model clan sebagaimana yang berlaku di masyarakat Tiongkok, model kasta di India dan model club di Amerika Serikat.
Model tersebut, menurut Hsu dibangun atas dasar latar belakang budaya masyarakat yang berbeda, yaitu di masyarakat Tiongkok dasar perikatan antar-individu didasarkan atas persamaan keluarga (clan), di India dasarnya adalah unsur agama (Hindu), dan di Amerika Serikat dasar utamanya adalah faham individualisme yang dipandang hal utama dalam masyarakat Barat. Pandangan Hsu ini sangatlah penting bagi kita untuk mengingatkan bahwa faktor sosial-budaya itu tidak dapat diabaikan dalam pemikiran dan perumusan pembangunan, apalagi untuk pembangunan pertanian. Toffler (1970), Abramson dan Inglehart (1998) dan Wilkinson dan Pickett (2010) dapat dipakai sebagai sumber yang memberikan pengetahuan dan inspirasi tentang pentingnya pendalaman akan perubahan-perubahan nilai dalam masyarakat. Dalam bukunya Future Shock, Toffler menggambarkan bahwa shock itu terjadi karena kita tidak memahami dan tidak mengantisipasi perubahan-perubahan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Selanjutnya, dalam Abramson dan Inglehart (1998) kita mendapatkan informasi bahwa dalam masyarakat Barat telah terjadi perubahan-perubahan nilai secara mendasar yaitu nilai yang bergerak dari nilai materialisme ke nilai spiritualisme (post materialist).
Sebagai ilustrasi, di Inggris nilai post materialist meningkat dari 7% (1970-71) menjadi 15 % (1993), sebaliknya nilai materialist menurun dari 36 % (1970-71) menjadi 21 % (1993). Perubahan nilai post materialist yang tertinggi terjadi di Denmark yaitu meningkat dari 7 % menjadi 25 % pada periode di atas. Hasil riset Wilkinson dan Pickett (2010) selama 50 tahun menunjukkan bahwa kemerataan (equality) adalah baik untuk semua orang. Hasil riset yang penting untuk dicatat antara lain adalah:
(1) Semakin timpang pendapatan, makin tinggi indeks masalah kesehatan dan masalah sosial kelamsyarakatan;
(2) Semakin tinggi pendapatan per kapita semakin rendah nilai indeks permasalahan kesehatan dan permasalahan sosial tetapi ini ditunjukkan oleh korelasi yang rendah;
(3)Semakin tinggi tingkat ketimpangan pendapatan, semakin rendah nilai indeks kesejahteraan anak-anak;
(4) Semakin tinggi ketimpangan pendapatan dalam masyarakat, semakin rendah persentase jumlah individu yang dapat dipercaya;
Dengan mendalami klasifikasi ilmu ekonomi kedalam bidang-bidang khusus yang menjadi spesialisasi bagi seorang ekonom menurut American Economic Association sebagaimana dikemukakan di atas, maka kita menemukan bahwa bidang yang menyangkut budaya sebagai subyek ekonomi, sangatlah terbatas, dengan dikelompokkan pada kelompok Z. Padahal, pada era Sorokin pada awal abad ke-20 sudah menggolongkan ekonomi kedalam sosiologi. Kekuatan yang sangat besar telah menggeser ekonomi menjadi ilmu seperti fisika, yaitu bukan manusia dan institusinya yang menjadi subyek studi melainkan komoditas dengan matematik menjadi bahasa atau alat utama dalam eksplorasinya. Hasil riset Wilkinson dan Pickett (2010) selama 50 tahun menunjukkan bahwa kemerataan (equality) adalah baik untuk semua orang. Hasil riset yang penting untuk dicatat antara lain adalah:
(5) Semakin tinggi ketimpangan pendapatan, semakin rendah persentasi pendapatan nasional yang disumbangkan untuk bantuan luar negeri;
(6) Semakin tinggi ketimpangan pendapatan, semakin tinggi persentase masyarakat yang mengalami gangguan mental;
(7) Semakin tinggi tingkat ketimpangan pendapatan semakin tinggi indeks penyalah-gunaan obat-obat terlarang;
(8) Semakin tinggi ketimpangan pendapatan, semakin rendah usia harapan hidup;
(9) Semakin tinggi tingkat ketimpangan pendapatan, semakin tinggi tingkat kematian bayi per 1000 kelahiran hidup;
(10) Semakin tinggi tingkat ketimpangan pendapatan, semakin tinggi tingkat penduduk yang kegemukan;
(11) Dan masih banyak lagi hasil penelitian yang penting yang dapat didapat dalam buku ini.
Sowell (1980) merupakan buku yang penting dalam memahami pengetahuan dan peran pengetahuan dalam masyarakat. Menurut Sowell peradaban merupakan instrumen yang sangat penting untuk mendapatkan manfaat dari pengetahuan. Spesialisasi sangat diperlukan untuk mendapatkan pengetahuan secara lebih baik. Menurut Sowell ―ideas are everywhere, but knowledge is rare;
bahkan menurut Sowell pula bahwa untuk seseorang yang dijuluki ―knowledgable pada dasarnya ia juga hanya memiliki knowledge pada bidang yang terbatas saja. Semakin modern suatu masyarakat, semakin sedikit ―jumlah jenis pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing individu masyarakatnya, tetapi makin dalam pengetahuan dalam satu subyek yang didalaminya. Sebaliknya, untuk individu yang berada dalam masyarakat tradisional, ia harus memiliki pengetahuan hampir semua jenis pengetahuan agar ia dapat tetap hidup, mulai dengan jenis tanaman dan hewan yang bisa dimakan, cara dan kemampuan menangkap atau mengumpulkannya, cara menanam dan memeilih musim yang baik untuk menanamnya, mengetahui ―obat‖ apa yang diperlukan untuk mengobati berbagai jenis penyakit, dan seterusnya.
Etzioni (1996) dalam bukunya ―The New Golden Rule pada dasarnya adalah memberikan landasan yang kokoh untuk dijadikan bahan diskusi tentang perlunya dasar-dasar etika untuk menmperkuat solidaritas sosial dalam masyarakat. Etzioni membangun konsep apa yang dinamakan good society dan communitarian movement. Pandangan Sen (2009) sangat penting untuk dijadikan referensi dalam pendalaman ide dan teori Justice. Berbeda dengan para pemikir di bidang ini, yang mengembangkan teori pada kondisi ideal, Sen mengembangkan pemikiran dalam dunia semacam yang dihadapi sekarang ini, yang diperlukan bukanlah teori keadilan pada kondisi ideal, melain teori yang dapat digunakan sebagai dasar membuat kebijaksanaan pada kondisi riil yang kita hadapi.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, tetapi dalam bidang berbeda, Elkington dan Hartigan (2008) mengemukakan argumen yang menjadi argumen utamanya bahwa perubahan besar itu memerlukan sekelompok entrepreneur yang tergolong ―unreasonable people‖. Chang (2008) dalam bukunya ― Bad Samaritans‖ menunjukkan bahwa free trade dan kapitalisme itu hanyalah kamuflase atau strategi dari negara-negara maju untuk mengelabui negara-negara berkembang, yang pernah dijajah mereka.
Kano (2008) memberikan perspektif panjang tentang sejarah perkembangan perekonomian Indonesia yaitu antara 1850-2000. Buku banyak memberikan inspirasi penting bagi strategi dan kebijaksanaan pembangunan ekonomi ke depan pada umumnya dan pembangunan pertanian pada khususnya. Sejarahmenunjukkan bahwa ekonomi Indonesia telah mengalami pasang surut dengan struktur yang sifatnya dualistik, yaitu kepentingan ekspor yang menjadi prioritas pemerintah kolonial dan kepentingan produksi pangan untuk stabilitas nasional. Dalam perjalanan ekonomi ekspornya Indonesia telah mengalami zaman keemasan rempah-rempah, gula, karet, minyak bumi dan hasil hutan, dan sekarang kelapa sawit.
Kano mengingatkan bahwa kemajuan ekonomi sebenarnya belum terlihat mengingat ekspor komoditas Indonesia didominasi oleh ekspor bahan mentah dan juga makin meningkatnya komponen impor. Terlebih lagi apabila kita menggunakan indikator service account balance maka nilai totalnya selalu negatif; nilai positif dalam service account balance hanyalah merupakan kontribusi dari Tenaga Kerja Indonesia dan perjalanan (wisata). Kesimpulan yang paling penting dari Kano untuk pertanian di Indonesia, khususnya di Jawa, adalah tidak terlihatnya fenomena transformasi ekonomi sebagaimana yang terjadi di Jepang atau di negara-negara yang telah mengalami penurunan persentase petani yang makin mengecil.
Yang menambah berat Indonesia pada masa mendatang adalah meningkatnya pembatas ekologi untuk ekspansi produksi pertanian, perdesaan menghadapi “de-agrarianization” dan memaksa angkatan kerja untuk mencari pekerjaan di luar pertanian. Sementara itu, Indonesia menghadapi pembatas kapasitas industri skala besar dalam menyerap tenaga kerja dan hanya dapat mengandalkan sektor informal dalam penyerapan kerja di daerah urban. Kesimpulan utama yang dibuat Kano adalah pengalaman pembangunan di Jepang sangat kecil kemungkinannya dapat diulangi di Indonesia, tetapi juga belum jelas apakah Indonesia akan menjadi pelopor dalam membangun jalan baru pembangunan ekonomi pada abad ke-21.