REINTERPRETASI PEMBANGUNAN PERTANIAN

Kalau kita coba amati dalam literatur ilmu ekonomi pembangunan, kita akan menemukan  bahwa  ilmu  ini  secara  khusus  dikembangkan  untuk  diterapkan  di negara berkembang. Di negara yang saat ini tergolong sebagai negara maju, istilah yang lahir  di sana  bukanlah pembangunan  tetapi industrialisasi. Kemajuan  di negara  tersebut  dipandang  sebagai  hasil  dari  suatu  proses  evolusi  yang  kemudian dipercepat  oleh  revolusi  industri. Jauh  sebelum  revolusi  industri  terjadi,  yang berkembang  adalah  perdagangan  sebagai  manifestasi  dari  lahirnya  faham  baru, yaitu kapitalisme dimana dalam faham ini hak kepemilikan individu atau korporasi diakui sebagai entitas legal.

Isme  selanjutnya  yang  berkembang  dalam  era  modern  adalah  imperialisme, merupakan  dampak kapitalisme  modern  yang  memerlukan  dukungan  persediaan bahan  baku,  tenaga  kerja  dan sekaligus  juga  pasar  bagi  industri-industri  yang berkembang di negara-negara maju tersebut. Dengan berkembang dan dipraktekkannya faham imperialisme tersebut maka lahirlah  era  penjajahan bagi hampir seluruh bangsa-bangsa Asia dan Afrika oleh bangsa-bangsa Eropa, termasuk kemudian Amerika Serikat pun menjadi imperium.  Baru pada pertengahan  hingga  akhir  abad  ke-20,  sebagian  besar  bangsa-bangsa  di  Asia  dan Afrika,  sebagai  dampak  dari  usainya  Perang  Dunia  Ke-II,  memperoleh  kembali kemerdekaannya.


Dengan latar-belakang fenomena sejarah di atas maka kita dapat memahami pesan  sejarah  tersebut, yaitu:  industrialisasi  di  negara-negara  maju  sama  artinya dengan eksploitasi di masyarakat bangsa yang dijajah oleh negara maju tersebut. Perlu difahami bahwa model pemikiran yang melandasi industrialisasi saat ini juga secara prinsip tidak berbeda dengan apa yang diterapkan pada era penjajahan yaitu membatasi ekspor hasil pertanian dengan menerapkan pajak atau bea keluar dengan tujuan  untuk  menjamin  pasokan  bahan  baku  bagi  industri  yang  akan dikembangkan  atau  akan berkembang  atau  diharapkan berkembang di Indonesia dengan korbanan kesejahteraan petani. Padahal persoalannya bukan sekedar keterediaan  bahan  baku  pada  harga  murah  sebagaimana  telah diperlihatkan  pada periode  50  tahun  terakhir  abad  ke-20  dimana  harga  komoditas  pertanian  terus menurun tetapi industri berbasis pertanian tidak berkembang di Indonesia, kecuali yang berbasis impor seperti industri mie berbasis impor terigu dan industri tekstil berbasis impor kapas.  

Data menunjukkan bahwa  transformasi  ekonomi  Indonesia selama  ini  tidak berpihak  kepada  pertanian  sebagaimana  digambarkan  oleh  penurunan  persentase nilai produk domestik bruto (PDB) pertanian yang tidak seimbang dengan penurunan persentase tenaga kerja yang bekerja di sekotor pertanian. Perbandingan  data  tahun  1957  dengan  tahun  2002  menunjukkan  bahwa  setiap penurunan  1  %  PDB  pertanian  di  Korea  Selatan,  Malaysia  dan  Thailand  diikuti oleh penurunan persentase tenaga kerja pertanian sebesar 1.56 %, 1.02 % dan 1.1 %; sedangkan untuk Indonesia penurunan pangsa tenaga kerja pertaniannya hanyalah 0.43 %.   

Dengan  demikian kita dapat menafsirkan bahwa pelajaran dari sejarah yang paling  penting  bagi bangsa-bangsa  Asia  dan  Afrika  itu  bukanlah  pelajaran  yang sifatnya fisik-biologis, melainkan yang sifatnya mental-spiritual, yaitu membangun kembali sikap mental-spiritual bangsa yang pernah lama dijajah, yang telah kehilangan  budaya  kemerdekaannya  dalam  periode  yang  sangat  lama,  menjadi bangsa baru dengan sikap mental-spiritual sebagai bangsa dan negara yang merdeka.  Karena itu pula dapat difahami apabila ada pandangan yang menyatakan bahwa kita itu masih merupakan bangsa yang belum bisa berpikir. Bahkan lebih seram  lagi  kita  dinamakan  bangsa  kuli,  yang  mana  Bung Karno  dengan  geram mencari jalan keluar atas tuduhan itu. Pandangan tersebut perlu kita fahami sebagai suatu kritik positif, mengingat kalaupun pandangan itu salah, kita sudah mendapatkan  manfaat dari  pesan  tersebut  dan  kita  mestinya  terdorong  mencari jalan keluarnya. Salah  satu  alasan penting  agar  kita  menerima  pandangan  tersebut  di  atas secara  positif  adalah  bahwa  pada kenyataannya  evolusi  manusia  menunjukkan bahwa  berpikir  itu  bukanlah  persoalan  yang mudah.   

Dapat  dibayangkan  untuk mencapai  gelar  sarjana,  apabila  semuanya  lancar  dan  tepat  waktu, seseorang memerlukan waktu 16 tahun  investasi; ditambah  sekitar  4-6  tahun  lagi  untuk mendapatkan gelar doktor. Total investasi waktu dari masuk sekolah dasar sampai mendapatkan gelar doktor diperlukan waktu sekitar 20-22 tahun. Belum lagi biaya dan  tenaga  yang  dikeluarkan  dalam seluruh  investasi  pengembangan  sumberdaya manusia ini. Periode tersebut berlaku pada zaman sekarang.  Perkembangan teknologi tentu saja harusnya dapat mempercepat proses tersebut.   

Untuk  bisa berpikir  diperlukan  bukan  hanya  kemampuan  individu  atau karakter masyarakatnya yang menempatkan kebahagian yang diperolehnya sebagai ungkapan  rasa  syukur  apabila  mereka berhasil  mendapatkan  buah  pikiran  yang lebih  baik  dan  memberikan  manfaat  yang  lebih  besar, dan  yang  selalu  merasa dahaga  terhadap  pemikiran-pemikiran  atau  penemuan-penemuan  baru, tetapi  juga dipengaruhi oleh lingkungan secara keseluruhan yang membuka ruang yang selebar-lebarnya  untuk  tumbuh  dan  berkembangnya  secara  subur  budaya  berpikir ini.  Dalam iklim dan budaya penjajahan, ruang untuk berpikir itu tertutup.   Karena  itulah  para  leluhur  rakyat  dan  bangsa Indonesia  berjuang  untuk memerdekakan  dirinya  yang  mana  nikmatnya  itu  diberikan  kepada  kita semua yang menjadi anak-bangsa Indonesia.  Kita belajar bahwa biaya ketidak-merdekaan  itu besarnya  tidak  terbatas.  Memang  ada  pilihan  apakah  kita  ingin menjadi  ―ayam  kampung‖  yang bebas  dan  merdeka  ataukah  kita  ingin  menjadi ―ayam  broiler‖  yang  diberikan  ―rumah‖,  makan dan  minuman  terjamin  tetapi kemudian setelah sampai pada waktunya yang paling menguntungkan bagi pemilik ayam itu kita semua dipotong16. Bukti dari biaya kemerdekaan yang  sangat mahal itu dapat kita lihat dari korbanan yang diberikan para leluhur pejuang kemerdekaan,  yaitu  biaya  berupa  pengorbanan  jiwa-raganya  demi  mewujudkan status  bangsa  dan  negara  yang  merdeka  dan  berdaulat.  Pejuang  tersebut  termasuk juga dalam bidang ilmu pengetahuan, demi kebenaran yang mereka yakini mereka juga  rela  mengorbankan  jiwa  raganya. Dalam  bidang  ilmu  pengetahuan  ini  kita mengenal, misalnya, Socrates atau Copernicus, yang dengan teguh membela keyakinan akan kebenaran yang mereka yakini.

Dalam konteks inilah bahwa yang terberat  bagi  ilmuwan  adalah  mencari  dan  mempertahankan  kebenaran  sebagai ukuran  integritasnya  kepada  ilmu  pengetahuan.  Kelihatannya  demikianlah  prinsip yang harus dipegang apabila kita ingin menjadi makhluk yang merdeka. Pemikiran  ekonom  pembangunan  yang  menggunakan  kemerdekaan  atau pemerdekaan  sebagai  subyek  sekaligus  juga  obyeknya  secara  langsung  adalah pemikiran yang dikembangkan oleh Amartya Sen, ekonom asal India yang menerima hadiah Nobel dalam bidang ekonomi, dengan judul bukunya: Development  as  Freedom. Menurut Sen  bahwa  pembangunan  itu  diartikan sebagai  what  people  can  do  or  can  be.  Ini  adalah  pemahaman  pembangunan sebagai  capabilities  (kapabilitas)  yang  mana  kapabilitas  itu  sebagai  faktor utama yang akan menentukan kita merdeka atau tidak.  Tentu saja pemahaman kemerdekaan  pada konteks  ini  adalah  kemerdekaan  dalam  status  dan  sekaligus pula dalam kemampuan.  Artinya, serajin dan sekuat apa pun bagi seorang budak, maka  ia  tidak  memiliki  hak  apa-apa  terhadap  hasil  kerjanya  karena  ia  statusnya sebagai  seorang  budak.  Karena  itu  ia  tidak  merdeka.    Sebaliknya,  sebagai  warga negara  yang  merdeka  di  negaranya  yang  merdeka,  maka  ia  semiskin  apa  pun karena  kekurang  mampuannya  dalam  menghasilkan  barang  atau  jasa,  ia  tetap hidupnya harus ditanggung oleh negara karena Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa fakir miskin ditanggung oleh negara (UUD 1945, Pasal 34)20.   

Sejalan dengan pemahaman ini, ukuran pembangunan tampaknya sudah jauh berkembang dibandingkan  dengan  ukuran  yang  digunakan  pada  awal  penerapan konsep  pembangunan  di  negara-negara  berkembang  yang  terpusat  saat  itu  pada ukuran pendapatan per kapita. Dewasa ini telah banyak ukuran lain yang digunakan  seperti  Human  Development  Index  (HDI),  Human  Freedom  Index, Sustainable Development Index dan sejenisnya.

Dengan  sejarah  pembangunan  yang  cukup  lama,  kita  telah  menyaksikan bahwa  dampak penggunaan  kata  pembangunan  ini  luar  biasa  besarnya  terhadap budaya  masyarakat,  mencakup: cara  berpikir,  cara  merasa  dan  dalam  membentuk keyakinan baru beserta perilakunya yang menyatu dengan pemikiran, perasaan dan keyakinannya  itu. Dengan perkataan  lain  kata pembangunan  itu telah berdampak terhadap perkembangan budaya  secara keseluruhan.  Pada zaman Orde Baru, kata pembangunan merupakan kata sakti Pemerintah untuk menjalankan program-programnya atau untuk mengalahkan kepentingan lain yang menentangnya. Dengan kata pembangunan ini birokrasi pemerintah menjadi sangat kuat.  Dengan  interpretasi  pembangunan  sebagai  alat  Pemerintah  untuk  mencapai sasaran-sasaran  pembangunan  yang  telah  ditetapkan  di  dalam  rumusan-rumusan formal seperti Repelita Nasional dan Repelita Sektoral atau Regional, maka pembangunan  dilaksanakan  secara  sistimatik  dan  birokratik.   

Untuk  mengetahui apa  yang  dirasakan,  dipikirkan  dan  diyakini  oleh  Pemerintah  dalam  pelaksanaan pembangunannya  itu  dapat  dikaji  berdasarkan  dokumen-dokumen  resmi,  antara lain  yang  dimuat  dalam  buku-buku  Repelita.  Atas  dasar  hasil  pengkajian  akan substansi  yang  terdapat  dalam  buku  Repelita  I-VI,  dapat  disimpulkan  bahwa walaupun  telah  terjadi  perubahan  fokus  yaitu  dari  swasembada  ke  diversifikasi pangan,  dan  kemudian  ke  ketahanan  pangan,  pola  dasar  pemikiran  pembangunan pertanian  tetap  relatif  sama  yaitu  terfokus  pada  produksi  pangan,  dominannya peran pemerintah, dan tidak adanya perubahan yang fundamental khususnya perbaikan dalam distribusi penguasaan lahan petani, pembiayaan pertanian rakyat, pengembangan  pasar  komoditas  pertanian,  dan  ekspansi  infrastruktur  perdesaan serta dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi.   

Hasil yang dicapai dengan menggunakan pola dasar pemikiran sebagaimana yang  kita  fahami  sekarang  ini  adalah  Indonesia  tidak  siap  menghadapi  ancaman-ancaman  yang  datang  dari  seluruh  penjuru  seperti  dalam  menghadapi  perubahan iklim global, harga-harga pangan dunia yang terus meningkat, kelangkaan berbagai faktor-faktor  produksi  penting  seperti  gas,  fosfat  dan  potasium;  luas  lahan  petani yang  semakin  sempit,  lingkungan  sosial  yang  semakin  rawan  akan  konflik,  dan kerusakan  lingkungan  hidup,  sebagaimana  yang  sedang  dihadapi  sekarang  dan akan  sangat  berbahaya  bagi  Indonesia  pada  masa  mendatang  apabila  hal  tersebut tidak dapat segera diatasi.  

Karena itu, sekarang adalah momentum untuk kita melakukan reinterpretasi kata  pembangunan  pertanian  dan  berbagai  krisis  ekonomi  yang  berkembang  di negara  maju  sekarang  ini  mestinya  membuka  kesadaran  kita  bahwa  kita  harus mandiri  dalam  berpikir,  merasa  dan  berkeyakinan  ini.  Hal  ini  tidak  berarti  kita membangun budaya tertutup. Yang kita perlukan adalah budaya mandiri sehingga kita  akan  menemukan  jati  diri  kita  dan  karena  itu  akan  menemukan  pula  tujuan, jalan dan organisasi untuk mencapainya yang dinamakan proses pembangunan itu sendiri. Keseluruhan nafas faham pembangunan itu adalah pemerdekaan.  Dengan melihat pembangunan pertanian sebagai proses pemerdekaan petani  dan  subyek  pelaku  pembangunan  yang  saling  tergantung  dengan  petani, maka  kita  akan  lebih  jernih  dalam  memahami  kompleksitas  permasalahan  dan dalam mencari solusi baru bagi permasalahan-permasalahan pembangunan pertanian yang kita hadapi. Faham pemerdekaan dalam pembangunan bagi Indonesia  sebenarnya  sudah  diamahkan  apabila  kita  mencoba  memahami  lebih mendalam amanah UUD 1945, khususnya Pembukaan, Pasal 27 khususnya ayat 2, Pasal  33,  dan  Pasal  34,  maka  faham  pembangunan  sebagai  proses  pemerdekaan sangatlah jelas.   

Untuk memudahkan diskusi, berikut ini penulis kutip amanah dimaksud:  Pembukaan UUD 1945:

Bahwa  sesungguhnya  kemerdekaan  itu  ialah  hak  segala  bangsa  dan oleh  sebab  itu, maka  penjajahan diatas dunia harus  dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang  berbahagia dengan  selamat  sentosa  mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.


Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh  keinginan  luhur,  supaya  berkehidupan kebangsaan yang  bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian  daripada  itu  untuk membentuk  suatu  pemerintah  negara Indonesia  yang  melindungi  segenap  bangsa  Indonesia dan seluruh tumpah darah  Indonesia dan  untuk  memajukan  kesejahteraan umum, mencerdaskan  kehidupan  bangsa,  dan  ikut  melaksanakan  ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan  rakyat  dengan  berdasar  kepada  :  Ketuhanan  Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Di  dalam  batang  tubuh  UUD  1945, kita  secara  tegas  dan  jelas  menjumpai amanah  konstitusi  yang  mengajarkan  pembangunan  sebagai  proses  pemerdekaan rakyat.  Dalam Pasal 27 ayat (2):  

 (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Adapun Pasal 33 dan Pasal 34 menyatakan: Pasal 33

(1)  Perekonomian  disusun  sebagai  usaha  bersama  berdasar atas asas kekeluargaan.

(2)  Cabang-cabang  produksi  yang  penting  bagi  negara  dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pasal 34
Fakir miskin dan anak-anakyang terlantar dipelihara oleh negara. 

Dengan  memahami  pesan-pesan  atau  amanah  UUD  1945  tentunya  harus hidup kembali kesadaran kita semua bahwa pembangunan pertanian itu merupakan pelaksanaan  amanah  dari  UUD  1945  dan amanah  itu  isinya  yang  paling  penting adalah  pemerdekaan  bagi  keseluruhan  rakyat  Indonesia, khususnya  pemerdekaan para petani dan keluarganya apabila konteksnya adalah pembangunan pertanian. 

Atas  dasar  uraian  di  atas,  maka  reinterpretasi  pembangunan  pertanian  yang diusulkan  melalui  tulisan  ini  adalah  memahami  pembangunan  pertanian  sebagai amanah  UUD  1945  dengan  tujuan  pemerdekaan  para  petani  dan  keluarganya sehingga pembangunan pertanian bukan hanya memberikan makna bagi kehidupan nasional  yang  lebih  sejahtera  tetapi    juga  sekaligus  bagian  proses  peningkatan kapabilitas  petani  dan  masyarakat  perdesaan  baik  dalam  statusnya  dalam  struktur dan kultur mayarakat Indonesia, maupun dalam kapabilitasnya sebagai masyarakat di era modern seperti sekarang ini dan pada waktu yang akan datang.

Related Posts

Subscribe Our Newsletter