REINTERPRETASI PERTANIAN ANTARA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN ILMU SOSIAL-EKONOMI PERTANIAN

Pembahasan  tentang  pertanian  tentu  saja  bukan  hal  yang  baru,  apalagi  bagi hadirin  sekalian  yang  selama  karirnya  mendalami  bidang  pertanian  ini. Namun demikian,  kenyataan  menunjukkan  bahwa  di  dunia  ini  tidak  ada  yang  sifatnya statis, semua bergerak dan semua berubah.  Termasuk dengan kebenaran itu sendiri bisa berubah: dulu yang difahami benar sekarang menjadi salah dan bisa juga dulu salah  sekarang  menjadi  benar.    Oleh  karena  itu,  tetap  saja  alam  memberi  ruang kepada kita semua untuk menerima secara terbuka berbagai pandangan, mencernanya dan kemudian melakukan reinterpretasi-reinterpretasi.  Kata  reinterpretasi  menjadi  kunci  pada  tulisan  ini.    

Reinterpretasi  akan dilakukan untuk konsep pertanian, pembangunan pertanian dan ilmu sosial-sosial ekonomi  pertanian. Reinterpretasi  ini  dilakukan  sebagai  suatu  kerja  pikiran  yang mudah-mudahan dapat memberikan sumbangan  akan berkembangnya pemahaman baru tentang pertanian, pembangunan pertanian dan ilmu sosial-ekonomi pertanian,  serta memberikan kontribusi positif terhadap pengembangan pendidikan ilmu sosial-ekonomi pertanian pada waktu yang akan datang. Kekeliruan dalam interpretasi akan menjadi masukan kedalam alam perasaan-pikiran-keyakinan yang akhirnya akan membelenggu budaya masyarakat secara keseluruhan.  Untuk melepaskan  perangkap  atau  belenggu  yang  sudah  membudaya  itu  sangatlah  sulit, misalnya,  betapa  sulitnya  kita  mengubah kebiasaan  yang  sudah  mendarah-daging, seperti melepaskan ketergantungan kita kepada nasi sebagai sumber utama karbohidrat bagi masyarakat Asia. 

Dunia  manusia  adalah  dunia  kata-kata,  atau  lebih  tepatnya  dunia  simbol.  Ilmu  pengetahuan  juga  dimulai  dengan  mencipta  kata  bagi  sebuah  nama  dan kemudian  menyusunnya  dalam  kategori-kategori  yang  rinci  dan  konsisten.    Kita menamakan  ilmu  ini  dengan  nama  taxonomi.    Dengan  taxonomi  kita  diajarkan membuat  klasifikasi  mulai  dari  yang  paling  umum  (kerajaan)  sampai  yang  paling spesifik  (spesies),  bahkan  cara  penulisannya  pun  mengikuti  aturan-aturan  khusus. 

Misalnya,  nama  spesies  ditulis  dalam  huruf  miring  atau  diberikan  tanda  garis bawah dengan huruf besar pada nama genus, seperti berikut:  Tectona grandis atau Tectona grandis untuk penulisan nama spesies pohon jati dalam bahasa Latin. Model pendekatan ilmu taxonomi ini berlaku umum pada semua jenis ilmu, hanya  saja  tidak  dinamakan  taxonomi,  tetapi  lebih  dikenal  dengan  klasifikasi. Klasifikasi adalah pemilahan unsur-unsur atau elemen-elemen berdasarkan kategori-kategori  tertentu. Secara  umum  terdapat  dua  kelompok  penyusunan kategori,  yaitu  berdasarkan  kriteria homogenisasi  atau  kriteria  fungsional.  Dalam klasifikasi kota-desa digunakan kriteria homogenisasi, yaitu ciri desa digambarkan oleh  dominannya  situasi  lingkungan  pertanian  di  wilayah  yang dimaksud  desa. 

Tetapi, dalam penyusunan hirarki kota-kota di dunia maka yang digunakan adalah kriteria  hubungan  fungsional  antar  kota-kota  di  dunia  sehingga  tergambar  pusat-pusat  kota  dunia  dan  pengaruhnya  sampai  pada  kota-kota  lain  di  dunia  ketiga.  Misalnya, walaupun jumlah  penduduk  Jakarta  sudah  tergolong  dalam jumlah penduduk  megapolitan,  tetapi  secara  hirarki,  status  dan  kekuatan  Jakarta  tidak tergolong  sebagai  kota  yang  mempengaruhi  globalisasi.    Untuk  Asia,  kota  yang dominan pengaruhnya terhadap globalisasi adalah Tokyo, sekelas London di Eropa dan  New  York  di  Amerika  Serikat;  Bangkok,  Singapura,  Hongkong,  Shanghai, Beijing  dan  Seoul  sebagai  kota  yang  powerful;    dan  Mumbai,  Bangalore,  Taipei digolongkan kota-kota yang influential, sekelas dengan Dallas di Amerika  Serikat atau Melbourne di Australia.

 
Dalam proses klasifikasi itu, baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, apa yang  dikeluarkan  dianggap  tidak  penting  dan  apa  yang  dimasukkan  dianggap penting.  Misalnya, dalam contoh pengaruh kota di atas, apabila kriterianya adalah kota berpenduduk terbesar yang berada di selatan garis khatulistiwa, maka Jakarta akan  masuk  menjadi kota  yang dicatat.    Tetapi  kriteria itu  tidak dianggap penting dalam  urusan  pengelompokkan  kota  yang  dominan  atau  kota  yang  berpengaruh.  
Pesan  yang  ingin  disampaikan  di  sini  adalah  bahwa  penyusunan  dalam  proses klasifikasi itu akan dipengaruhi oleh pemahaman si penyusun terhadap kompleksitas  permasalahan,  tujuan  dari  klasifikasi,  ketersediaan  data  dan  metode untuk  menyusun  klasifikasi  serta  konteks  yang  ingin  dibangun.    Mengingat  ada istilah  penting  atau  tidak  penting,  maka  di  dalam  proses  klasifikasi  kepentingan para pihak akan menentukan, termasuk nantinya adalah penetapan atau pilihan dari definisi-definisi  dari  dunia  kata-kata  yang  diciptakan,  mengingat  dengan  definisi itu maka akan ada yang kepentingannya dikeluarkan dari pilihan kata dan definisinya.  Jadi, unsur subyektifitas tetap akan memberikan warna dalam pemahaman  dunia  kata-kata  ini,  khususnya  dalam  proses  klasifikasi.    Dengan demikian tidaklah berlebihan apabila kita mengatakan bahwa pihak yang kuat atau berkuasa yang akan menetapkan suatu klasifikasi termasuk menetapkan pengertian atau definisi yang akan digunakannya.  Pada hakekatnya melalui proses inilah awal perubahan atau tidak adanya perubahan dalam budaya masyarakat ditentukan. 

Kekayaan kata-kata dalam suatu masyarakat menggambarkan kekayaan pikiran  atau  perasaan  yang  telah  berhasil  menjadi  simbol  yang  bisa  ditafsirkan sebagai suara batin dari masyarakat tersebut.  Asal –usul serta variasi kata-kata itu juga menunjukkan proses saling pengaruh-mempengaruhi antar-budaya masyarakat dunia yang sudah berevolusi ribuan tahun.  Pada situasi akhir-akhir ini kita  dapat  menyaksikan  betapa  banyak  dan  derasnya  kata-kata  dalam  Bahasa Inggis  yang  masuk  kedalam  jiwa  kita  yang  dihantarkan  melalui  berbagai  media.  Sebagai ilustrasi, pada koran harian terkemuka di Jakarta, edisi Rabu, pada lembar halaman  pertama,  21  September  2011  memuat  kata  yang  berasal  dari  Bahasa Inggris,  antara  lain:  bisnis,    property,  lunch  with  CEO,  solusinya,  indeks,  gain, cement,  update,  holiday  inspiration,  save  up  to  20  %  off  or  free  dessert  at restaurant, hotline 24 jam, marine, bonding, import inflation, dan masih banyak lagi.    Penggunaan  kata-kata  tersebut  tentunya  tidak  sekedar  munculnya  kata-kata baru,  melainkan  banyak  hal  yang  berhubungan  dengan  kondisi  sosial-ekonomi Indonesia  akan  mendapatkan  pengaruhnya.    Kata  bukan  sekedar  memberikan pesan, tetapi mendorong berkembangnya suatu perubahan.     

Apabila  kata  dan  klasifikasi  menjadi  fenomena  yang  sangat  penting,  untuk menarik  gambaran  umum  suatu  budaya  masyarakat  dari  kata  yang  digunakan, sumber  apa  yang dapat dipakai sebagai  acuan?  Tentu, sumber  penting  yang dapat kita  pakai  adalah  kamus  mengingat  kamus  merupakan ―khasanah perbendaharaan kata suatu bahasa yang menggambarkan tingkat peradaban bangsa pemiliknya‖. Kata  kamus  berasal  dari  bahasa  Arab  qamus,  yang  diambil  dari  bahasa  Yunani,  yang  berarti  ―lautan.  Dengan  demikian  kata  kamus  diartikan  sebagai simbol  wadah  pengetahuan,  khususnya  pengetahuan  bahasa,  yang  tidak  terbatas dalam  dan  luasnya.9    Karena  itu,  isi  suatu  kamus  dapat  memberikan  gambaran secara  tidak  langsung  status  kemajuan  atau  perhatian  suatu  budaya  masyarakat terhadap hal-hal tertentu.    

Dalam  Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia  Edisi  Ketiga  yang  disusun  oleh Pusat  Bahasa  Departemen  Pendidikan  Nasional  terbitan  Balai  Pustaka  (2007)  dan Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta, sama-sama  terbitan  Balai  Pustaka  (1991),  kata  PERTANIAN  tidak  dapat  kita  temukan sebagai suatu  entry.   Pada  Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia  edisi  ke  -3  (2007) kita melihat  bahwa  setelah  kata  pertanda  kata  berikutnya  adalah  pertepel,  sedangkan pada  Kamus  Umum  (1991)  setelah  kata  pertanda  kata  berikutnya  adalah  pertiwi.  Analog  dengan  ilustrasi  kota  Jakarta  dalam  konteks  kota-kota  berpengaruh  di dunia,  maka  nasib  yang serupa  juga dialami  pertanian,  yaitu  para  perumus kamus tidak menggunakan kriteria yang membuat kata pertanian masuk sebagai salah satu entry dalam Kamus Besar tersebut.  Salah satu penyebabnya mungkin karena tidak adanya  perwakilan  keahlian  pertanian  yang  termasuk  dalam  tim  Penyumbang Saran  dan  Istilah  sebagaimana  dapat  dibaca  pada  halaman  xviii  Kamus  Besar Bahasa Indonesia.

Kedua  kamus  tersebut  menempatkan  pertanian  sebagai  bagian  pengayaan dari  kata  tani.  Menurut  Kamus  Besar  (2007),  kata  tani  mengandung  arti:  (a) sebagai  kata  benda  berarti  mata  pencaharian  dalam  bentuk  bercocok  tanam;  mata pencaharian dalam bentuk mengusahakan tanah dengan tanam-menanam; (b) dalam  kata  kerja  bertani  berarti  bercocok  tanam,  mengusahakan  tanah  dengan tanam  menanam.    Sedangkan  pertanian  (kata  benda)  diartikan  sebagai  (a)  perihal bertani, dan (b) segala yang bertalian dengan tanam-menanam (pengusahaan tanah dan  sebagainya),  dengan  pengayaan  arti  selanjutnya  yang  bersifat:  (a)  pertanian ekstraktif,  (b)  pertanian  generatif,  (c)  pertanian  huma,  (d)  pertanian  kering  (tanpa irigasi),  (e)  pertanian  komersial,  (f)  pertanian  ladang,  (g)  pertanian  menetap,  (h) pertanian monokultur, (j) pertanian multikultur.  Dalam kamus ini  petani diartikan sebagai orang yang pekerjaannya bercocok tanam.  Sebagaimana telah disinggung, kamus tidak sekedar menggambarkan jumlah entry kata dari suatu bahasa yang digunakan oleh suatu bangsa.  Kamus merupakan indikator yang sangat penting yang menggambarkan maju-tidaknya suatu peradaban  dari  suatu  bangsa.    Selain  itu,  kamus  juga  menggambarkan  sampai sejauh mana atau sedalam apa suatu kata atau pengertian sudah meresap dalam diri suatu masyarakat-bangsa.  Dalam pengertian di atas usaha di luar tanam-menanam seperti peternakan, perikanan atau usaha sejenisnya tidak termasuk dalam kategori pertanian.    Selanjutnya,  dan  ini  yang  paling penting, kita  tidak  merasakan  adanya pesan bahwa pertanian itu sebagai budaya atau bagian dari kebudayaan, karena itu tidak  ada  pesan  budaya  yang  menyatakan  bahwa  pertanian  itu  penting  dalam menentukan kehidupan dan tinggi-rendahnya peradaban suatu bangsa. 

Dalam  Bahasa  Inggris,  aspek  yang  disebutkan  terakhir  sangat  jelas  terlihat dan terasa.  Dalam Bahasa Inggris pertanian disimbolkan oleh kata agriculture, ada kata  culture  yang  menyatu  dalam  satu  kata.    Kita  bisa  membaca  pengertian agriculture dalam Webster’s New Collegiate Dictionary (1981) sebagai berikut: “agriculture: the science or art of cultivating the soil, producing crops, and rising livestock and in varying degrees the preparation of these products for man’s use and their disposal  (as by marketing)”.

Tulisan ini menggunakan pertanian dengan makna agriculture sebagaimana dikandung dalam Kamus Webste’s mengingat maknanya selain lebih lengkap juga lebih mendalam serta lebih mengena dengan situasi realitas yang sebenarnya.  Kata kunci dari makna yang dalam itu terletak pada kata culture. Rumahnya pertanian itu budaya di mana di dalamnya terdapat  science (ilmu), art (seni)  yang melandasi pemanfaatan tanah, tanaman, ternak dan tingkatan selanjutnya termasuk marketing.  Untuk  lebih  meyakinkan  lagi,  kata  marketing  dalam  Kamus  Webster juga diartikan (a)  “the act or process of selling or purchasing in a market, (b) an aggergate of functions involved in moving goods from producer to consumer”. Fungsi-fungsi marketing tersebut tentunya mencakup fungsi transaksi (exchange  ulitity),  fungsi  penyimpanan  (time  utility),  fungsi  pengolahan  (form utility), dan fungsi distribusi (spatial atau place utility), yang mana ini adalah sama dengan sistem agribisnis.  Jadi, dengan menggunakan pengertian pertanian sebagaimana  yang  terdapat  dalam  Kamus  Webster  juga  kita  menemukan  pesan bahwa antara pertanian dan agribisnis itu dua kata yang maknanya bisa sama.   

Dengan demikian kita memerlukan reinterpretasi kata pertanian dan mensosialisasikannya  secara lebih  baik kepada masyarakat  sehingga  pertanian difahami  sebagai  bagian  dari  budaya dan pembangunan  pertanian  ditafsirkan sebagai  pembangunan  untuk  meningkatkan  peradaban. Peradaban  yang  maju dicirikan  oleh  pertaniannya  yang  maju,  dan  sebaliknya  peradaban  yang  mundur dicirikan oleh pertaniannya yang mundur. Salah satu  hal yang perlu segera diusulkan adalah perbaikan Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu agar kata pertanian menjadi entry pada Kamus tersebut dan pengertiannya mengikuti kenyataan  yang  sebenarnya  ada. Pengertian  pertanian  sebagai  agriculture  yang terdapat dalam Kamus Webster’s perlu dijadikan referensi.

Related Posts

Subscribe Our Newsletter