Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan salah satu kejahatan yang sangat besar pengaruhnya atas kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. KDRT dapat merusak tatanan keluarga sebagai tiang penyangga kehidupan bangsa dan negara. Sayangnya jumlah kasus KDRT yang terjadi seolah-olah tiap tahun selalu mengalami peningkatan. Kasus KDRT yang terjadi sesungguhnya dapat disebut sebagai fenomena gunung es, karena banyak korban kekerasan dalam rumah tangga yang tidak melaporkan apabila terjadi KDRT. Sebagian korban terutama dari pihak wanita menganggap kasus KDRT sebagai kasus yang biasa terjadi dan bukan merupakan kasus KDRT yang perlu ditanggulangi dengan sanksi yang berupa pidana. Budaya daerah sering mengajarkan kepada masyarakat untuk tidak membawa kasus rumah tangga ke ranah publik. Hal ini dilakukan secara turun temurun sehingga menjadi budaya masyarakat untuk menutup-nutupi masalah rumah tangga yang dianggap aib untuk dikonsumsi publik.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengungkapkan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga dalam tiga tahun terakhir mengalami peningkatan. Dalam data yang ada, pada tahun 2009 kasus KDRT yang berhasil dicatat KPPPA berdasarkan pada data Kepolisian sebanyak 143.586 kasus. Pada tahun 2010 kasus KDRT yang tercatat berjumlah 105.103 kasus. Memasuki 2011, kasus KDRT yang ada sebanyak 119.107. Dari data tersebut kekerasan yang terjadi adalah seputar kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan eksploitasi. Menurut Menteri pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, meningkatnya kasus KDRT yang ada masih disebabkan karena persoalan ekonomi, selain itu ada juga persoalan sosial budaya masyarakat yang mensubordinasikan perempuan dan anak. Tidak hanya itu permasalahan mengenai produk perundang-undangan yang masih banyak bias gender dan bersifat diskriminatif juga menjadi salah satu penyebab. Karena itu Menteri berharap agar para hakim dapat memutus setiap perkara KDRT dan anak dengan seadil-adilnya .
Menurut Deputi Bidang Perlindungan Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, sepanjang 2010 angka pengajuan perceraian karena KDRT mencapai 15.000 kasus . Statistik Mitra Perempuan Women’s Crisis Centre tahun 2011 (hingga 10 Desember) mencatat jumlah layanan pengaduan dan bantuan diberikan kepada 209 orang perempuan dan anak-anak yang mengalami kasus kekerasan, terutama 90.43% merupakan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga di wilayah Jakarta, Tangerang, Bekasi, Depok, Bogor dan wilayah lainnya .
Kekerasan dalam rumah tangga yang paling banyak terjadi dalam beberapa jenis, antara lain kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan ekonomi, kekerasan seksual, dan lain sebagainya. Dari jenis-jenis kekerasan itu, kekerasan psikis merupakan kekerasan yang paling banyak terjadi sepanjang tahun. LBH APIK Jakarta mencatat bahwa KDRT secara psikis di Jakarta pada tahun 2002 sebagai KDRT terbanyak terjadi sebanyak 250 kasus, kekerasan ekonomi 165 kasus, dan kekerasan fisik 86 kasus . Banyaknya kasus KDRT ini salah satu penyebabnya adalah budaya patriarki yang kuat, kesetaraan gender yang belum nampak, serta budaya masyarakat yang ingin hidup harmonis sehingga selalu cenderung menyalahkan suami atau istri.
Salah satu contoh kasus KDRT secara psikis adalah yang dilakukan oleh Andriyanto, seorang PNS pada KUA Prabumulih yang tidak memberikan nafkah kepada istrinya, baik berupa nafkah lahir maupun batin, sehingga menyebabkan istrinya mengalami penderitaan psikis yang cukup berat meliputi rasa malu, tertekan, terhina, sedih, kecewa, hingga stres. Kasus ini telah divonis oleh Pengadilan Negeri Prabumulih Melalui Putusan Nomor 17/Pid.B/AN/2010/PN.Pbm dengan vonis pidana penjara 6 bulan melalui masa percobaan selama 1 tahun. Putusan ini telah dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor. 575K/Pid.Sus/2011.
Beberapa kasus KDRT terutama kekerasan psikis masih belum banyak yang dilaporkan, karena sulitnya pembuktian yang harus dilakukan oleh pidak pelapor. Selain itu banyaknya kasus KDRT yang tidak ditangani, diselesaikan secara damai, atau vonis pidana yang kurang memuaskan pihak korban, menyebabkan masyarakat enggan melaporkan terjadinya kasus KDRT. Oleh karena itu dalam penulisan penelitian ini penulis membahas Tentang Penganiayaan Secara Psikis Dalam Rumah Tangga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Kekerasan menurut para ahli diartikan sebagai kejahatan kekerasan (violent crime) yaitu suatu peristiwa seseorang dengan sengaja melukai fisik atau mengancam untuk melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain, baik dalam bentuk penganiayaan, perampokan, perkosaan, pembunuhan, maupun intimidasi lainnya. Defini lain kejahatan kekerasan (violence) adalah sebagai istilah yang digunakan untuk membuat cedera mental atau fisik, yang merupakan bagian dari proses kekerasan yang kadang-kadang diperbolehkan, sehingga jarang disebut sebagai kekerasan. Kekerasan juga didefinisikan sebagai tindakan/serangan terhadap seseorang yang memungkinkan dapat melukai secara fisik, psikis, dan mentalnya serta menyebabkan penderitaan dan kekerasan . Masyarakat biasanya membuat kategori-kategori tertentu mengenai tingkah laku yang dianggap keras dan tidak. Termasuk sebagai kekerasan adalah kekerasan terhadap perempuan yaitu setiap kekerasan yang diarahkan kepada perempuan hanya karena mereka perempuan .
Rumah tangga atau keluarga adalah yang berkenaan dengan urusan kehidupan dalam rumah (seperti hal belanja rumah) atau yang berkenaan dengan keluarga. Pihak-pihak yang termasuk dalam lingkup rumah tangga, adalah a.) Suami, isteri, dan anak, termasuk anak angkat dan anak tiri, b). Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami atau isteri yang tinggal menetap dalam rumah tangga, seperti : mertua, menantu, ipar, dan besan; dan c.) Orang yang bekerja membantu di rumah tangga dan menetap tinggal dalam rumah tangga tersebut, seperti Pembantu Rumah Tangga.
Penganiayaan Secara Psikis
Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan psikis dibedakan menjadi kekerasan psikis berat dan kekerasan psikis ringan.
Hukum Pidana
Pengertian dari hukum pidana hingga saat ini belum dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Definisi hukum pidana saat ini didasarkan pada pendapat para ahli hukum pidana, sehingga pengertian dari hukum pidana tersebut masih berbeda-beda menurut para ahli. Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Hukum pidana itu itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1. Suatu tindak pidana itu tetap ada, walaupun tindakannya itu telah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari korbannya;
2. Penuntutan menurut hukum pidana itu tidak digantungkan kepada keinginan dari orang yang telah dirugikan oleh suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang lain.
3. Biaya penjatuhan pidana dipikul oleh negara sedangkan pidana denda dan perampasan barang menjadi menjadi penghasilan negara.
Kriminalitas Dalam KDRT
Faktor-faktor Penyebab Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga meliputi faktor budaya, faktor agama, faktor lingkungan dalam keluarga, faktor korban, faktor balas dendam, faktor kemiskinan, dan sebagainya . Dalam budaya masyarakat Indonesia, anak-anak dan perempuan masih belum mendapat tempat atau masih belum dianggap sebagai individu yang berdiri sendiri. Meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Indonesia dapat dikatakan sebagai akibat dari sistem dan budaya yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Indonesia merupakan suatu bangsa yang memiliki banyak sekali ragam kebudayaan, karena dari sisi historis Indonesia adalah kumpulan dari berbagai kerajaan dan suku bangsa yang disatukan oleh Pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu. Di Indonesia kata “melindungi”, ”mendidik” mempunyai banyak persepsi yang berbeda-beda. Kata-kata “melindungi”,”mendidik”, sering disalahartikan dengan mengekang kebebasan, mengurung, memukuli, dan perlakuan buruk lainnya dengan alasan melindungi dari pengaruh buruk lingkungan.
Teori Keadilan
Keadilan pada hakikatnya adalah memperlakukan seseorang atau pihak lain sesuai dengan haknya. Yang menjadi hak setiap orang adalah diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya, sama derajatnya, dan sama hak dan kewajibannya, tanpa membedakan suku, keturunan, dan agamanya. Plato membagi keadilan menjadi keadilan individual dan keadilan bernegara. Menurutnya keadilan individual adalah kemampuan seseorang menguasai diri dengan cara menggunakan rasio .
Keadilan harus dipahami sebagai fairness, dalam arti bahwa tidak hanya mereka yang memiliki bakat dan kemampuan yang lebih baik saja yang berhak menikmati berbagai manfaat sosial lebih banyak, tetapi keuntungan tersebut juga harus membuka peluang bagi mereka yang kurang beruntung untuk meningkatkan prospek hidupnya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, pertanggungjawaban moralitas kelebihan dari mereka yang beruntung harus ditempatkan pada bingkai kepentingan kelompok mereka yang kurang beruntung .
Keadilan sebagai bagian dari nilai sosial memiliki makna yang amat luas, bahkan pada suatu titik bisa bertentangan dedengan hukum sebagai salah satu tata nilai sosial. Suatu kejahatan yang dilakukan adalah suatu kesalahan. Namun apabila hal tersebut bukan merupakan keserakahan tidak bisa disebut menimbulkan ketidakadilan. Sebaliknya suatu tindakan yang bukan merupakan kejahatan dapat menimbulkan ketidakadilan. Dengan demikian memiliki makna yang cukup luas, sebagian merupakan keadilan yang telah ditentukan oleh alam, sebagian merupakan hasil ketetapan manusia (keadilan hukum). Keadilan alam berlaku universal, sedangkan keadilan yang ditetapkan manusia tidak sama di setiap tempat. Keadilan yang ditetapkan oleh manusia inilah yang disebut dengan nilai .
Manfaat Teori Keadilan Dalam KDRT
Prinsip keadilan yang paling banyak dianut oleh para ahli hukum adalah prinsip keadilan John Rawls. Pertama, the greatest equal principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini merupakan hal yang paling mendasar (hak azasi) yang harus dimiliki semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan terwujud (prinsip kesamaan hak). Prinsip tersebut tidak lain adalah prinsip kesamaan hak, merupakan prinsip yang memberikan kesetaraan hak dan tentunya berbanding terbalik dengan beban kewajiban yang dimiliki setiap orang . Dalam kaitannya dengan kehidupan rumah tangga, prinsip keadilan ini jelas menegaskan adanya persamaan hak bagi siapapun yang menjadi bagian suatu keluarga, sehingga seharusnya KDRT tidak terjaadi pada suatu keluarga.
Kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga perlu diperhatikan azas atau dua prinsip berikut, yaitu The different priciple dan the principle of fairy equality of opportunity. Keduanya diharapkan memberikan keuntungan terbesar bagi orang-orang yang kurang beruntung, serta memberikan penegasan bahwa dengan kondisi dan kesempatan yang sama, semua posisi dan jabatan harus terbuka bagi semua orang (Prinsip Perbedaan Objektif) . Kedua prinsip tersebut merupakan prinsip perbedaan objektif, artinya prinsip kedua tersebut menjamin terwujudnya proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban para pihak, yang dalam hal ini adalah seluruh anggota keluarga, sehingga secara wajar (objektif) diterima adanya perbedaan tanpa harus menimbulkan KDRT.
Dengan demikian, prinsip pertama dan prinsip kedua tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Sesuai dengan azas proporsionalitas, keadilan akan terwujud apabila kedua syarat tersebut diterapkan secara komprehensi, termasuk untuk mencegah timbulnya KDRT.